Friday, November 22, 2013

1 Perempuan 14 Laki-Laki

Perlu 14 laki-laki untuk menulis buku ini dan hanya 1 perempuan untuk mengisahkannya.
Kalimat tersebut yang membuatku tertarik membeli buku "1 Perempuan 14 Laki-Laki". Ini buku Djenar Maesa Ayu pertamaku. Yang kubeli dan kubaca. Jadi aku emang gak punya bayangan bagaimana seorang Djenar bercerita atau menulis.

Sebelum memutuskan membelinya, aku kirim whats app ke Dhieta, meminta rekomendasinya, bertanya padanya tentang buku. Tentang Djenar. Beberapa kali aku bertanya tentang buku dan dia tidak pernah mengecewakanku. Buku terakhir yang direkomendasikannya buagussss...aku puas membacanya. Jadi aku mengharapkan hal yang sama. Mumpung di Gramedia, hohoho, kapan lagi.
Sayangnya, aku baru menerima balasan setelah aku keluar dari gramedia. Terlambat. Aku sudah terlanjur membeli beberapa buku, 2 buku karangan Paolo Coelho, 1 Filosofi Kopi-nya Dewi Lestari yang direkomendasikan Bang Andi sejak lama dan buku ini-tulisan Djenar Maesa Ayu. Sebenarnya ingin membeli yang lain, apa daya dompet tak sampai. Ya sudahlah...Ini pun aku bersyukur banget.
Aku melaporkan ke Dhieta buku-buku yang kubeli, dan katanya semua dia tau bagus, kecuali khusus untuk buku ini dia berkomentar:
Djenar sih vulgar.
Hmm..pilihan yang salah rupanya, pikirku. Saat Dhieta menulis demikian aku memang belum membaca isi bukunya sepenuhnya.Aku baru membaca daftar isi-oke ini kumpulan cerpen. Dan aku baru membaca pengantar dari sang penulis-yang membuatku semakin tertarik.
IDENYA GILA.
PROSESNYA KEREN.
Kebayang gak sih, Djenar bergantian menuliskan setiap ceritanya dengan seorang teman prianya,kalimat demi kalimat #tepok jidat.
Kita udah punya ide nih, mau buat cerita yang gimana atau mau nulis tentang apa eh...baru menulis satu kalimat, e e e...kalimat berikut dari partner menulis kita sama sekali gak nyambung dengan apa yang kita pikirkan. Edan gak tuh?
Aku pribadi jadi penasaran membaca cerita-ceritanya. Memang bener yang dibilang Dhieta. Aku baru baca beberapa dan memang vulgar. Sunguh penasaran mengetahui bagaimana cerita-cerita yag dibuat dengan proses demikian menjadi, tapi aku tidak menyelesaikan semua cerita, nanti akan aku ceritakan mengapa.
Saat membaca, tak jarang aku mencoba menebak, kalimat ini sepertinya yang menulis Djenar, atau kalimat ini partnernya. Benar-benar menebak karena aku gak pernah tahu gaya penulusan Djenar, tebakan yang dibuat berdasarkan insting:ini kalimat wanita atau ini kalimat pria. Awal cerita doang. Tapi lama kelamaan aku keasyikan membaca. Karena lama-kelamaan kalimat tersebut jadi kesatuan cerita. Seakan-akan hanya satu orang yang menuliskannya. Sungguh, seandainya aku tidak tahu proses penulisannya, aku gak akan pernah menyangka cerita-cerita tersebut ditulis dengan proses yang sedemikian ribet.
Terlepas dari kevulgarannya.  Beberapa cerita yang kubaca disampaikan dengan mengalir  begitu saja tanpa nampak jelas kejanggalan kalimat demi kalimatnya. Sungguh not bad. Dan melalui kesadaran akan proses penulisannya, aku diajar untuk lebih menghargai proses. Untuk gak egois juga. Karena kan gak mungkin kita memaksakan ego sendiri menuliskan cerita itu sendiri,karena ada 2 kepala di situ, 2 pemikiran. Perlu proses untuk berpadu indah menjadi satu cerita. Harus menghargai partner, idenya, pemikirannya, gayanya, karena udah pasti beda kan sebenarnya. Tapi kita dituntut untuk merendahkan hati, gak memaksakan kehendak. Demikian juga dengan cerita hidup kita, sering kali kita bersinggungan dengan mereka yang pemikiran maupun latar belakangnya beda. Maukah kita gak memikirkan diri sendiri? Tantangan besar buatku.
Sepertinya, aku tidak akan membeli buku Djenar lagi, hehehehe, vulgar booo..... Ini pilihan yang salah bagiku, karena buku ini membuatku berimajinasi macam-macam. Memang sih aku belajar sesuatu. Tapi aku gak akan membawa diriku ke dalam pencobaan. Ini seperti aku melakukan kesalahan kemudian aku belajar dari kesalahn tersebut, tapi aku gak mau mengulangi kesalahan tersebut. Yah, begitulah ;-).
Kasongan, 22 November 2013
-Mega Menulis-

No comments: