Kak Nugie dan istrinya menghadiahkan
buku Sacred Marriage dan devotionsnya (YESSSS!!! Dua bukuuuuu..\(“,)/ So happy.
Hehehehe) untukku dan abangku sebagai hadiah pernikahan. Walau aku belum
selesai membacanya, aku merekomendasikan buku ini bagi mereka yang ingin menikah,
akan menikah, dan telah menikah. Bagusss bangeettttt d^^b Kalimat-kalimatnya
jleb jleb jleb banget deh. Makasih Kak Nugie dan Mbak Tari, we are so blessed \(",)/
Di sampulnya aja (depan dan
belakang), kita diizinkan ‘mengintip’ isi buku ini, cekidot:
Bagaimana seandainya Tuhan
merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada untuk menyenangkan
kita?
Pernikahan anda lebih dari sebuah
perjanjian yang kudus dengan seseorang?
Pernikahan anda adalah disiplin
rohani yang dirancang untuk menolong anda mengenal Tuhan lebih baik
memercayai-Nya lebih penuh dan mengasihiNya lebih dalam.
Kali ini aku akan share hal-hal yang yang aku
pelajari dari buku ini ^^
Para bapa gereja mula-mula
setidaknya sependapat bahwa tujuan utama pernikahan adalah memberikan analogi tentang
rekonsiliasi, yaitu menjadi suatu model yang menunjukkan hubungan Kristus
dengan jemaat-Nya. Rasul Paulus membahas tema ini dengan jelas dalam suratnya
kepada jemaat di Efesus (Efesus 5:22-33).
Salah satu pemikir Kristiani dalam sejarah, yaitu Agustinus (354-430 Masehi), berpendapat bahwa ada tiga berkat dari pernikahan: keturunan, iman (kesetiaan) dan sakramen. Dari ketiga hal tersebut, menurutnya sakramen adalah berkat terbesar. Orang masih mungkin menikah tanpa memiliki keturunan atau iman, tetapi tidak mungkin bisa menikah tanpa memiliki komitmen yang permanen, yang ditunjukkan melalui sakramen. Selama sepasang suami istri masih dalam status menikah, mereka masih terus menjadi sarana yang menunjukkan-meskipun jauh dari sempurna-komitmen antara Kristus dengan jemaat-Nya. Sebab itu, mempertahankan keutuhan pernikahan sangatlah penting. (Sacred Marriage, Gary Thomas, hal.37)
Membaca bagian itu, aku
mengangguk-angguk namun juga berpikir demikian, iya….ya…sakramen inilah-komitmen
untuk menjadi sarana yang menunjukkan hubungan Kristus dengan jemaatNya inilah
yang membuat pernikahan menjadi berbeda. Orang-orang bisa saja memiliki anak
tanpa menikah, orang-orang bisa saja hidup bersama dan setia walaupun tanpa
mengucapkan komitmen (seperti dilakukan banyak orang yang hidup bersama tanpa
menikah) TAPIIIII….pemberkatan nikah yang sesungguhnya adalah komitmen pria dan
wanita untuk menjadi sarana yang menunjukkan hubungan Kristus dan jemaatNya.
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Efesus 5:22-25
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Efesus 5:22-25
Ayat ini kalau aku bilang indah
namun mengerikan, hahahaha. Abangku protes saat kami berdiskusi dan aku bilang
mengerikan tapi ya gimana sih, emang ngeri-ngeri sedap ^^’ Indahnya karena kami
membayangkan betapa banyaknya orang diberkati saat melihat kehidupan pernikahan
yang menjadi gambaran yang jelas bagaimana hubungan Kristus dan jemaatNya,
suami yang mengasihi istrinya dan rela mengorbankan segala kenyamanannya demi
istrinya, istri yang mau tunduk dan taat pada suami dalam segala sesuatu, suami
dan istri yang saling setia, suami dan istri yang tetap bersama walaupun di
tengah segala kesulitan, suami istri yang begitu intim hingga tidak ada lagi
rahasia di antara mereka, indah bukan?
Nah, bagian mengerikannya adalah
hal tersebut tidak otomatis terjadi. Suami istri harus bekerja keras mewujudkan
semuanya itu. Secara, dengan Tuhan yang kita tahu baik dan luar biasa mengasihi
kita aja, kita sulit untuk taat dan tunduk,wong setiap hari kita mendukakannya,
sengaja maupun tidak sengaja. Apalagi pada suami yang kita tahu gak sempurna,
dan kita sudah tahu jelek-jeleknya *sigh* Begitu juga dengan suami, tentunya
bukan hal yang mudah mengasihi istri apapun yang terjadi, apalagi saat istri
sedang tidak cantik. No, ini bukan tentang cantik fisik, tapi istri seringkali
jadi makhluk paling ndablek di seluruh dunia, bukannya menjadi penolong malah perongrong,
belum lagi si istri yang seharusnya menjadi penyemangat suami malahan mengeluh
dan tidak tahu bersyukur padahal suami sudah bekerja keras demi keluarganya. Mengerikan,
karena membuatku bertanya-tanya, sanggupkah abangku berlaku seperti Kristus
yang senantiasa mengasihi dan berkorban bagiku, sementara aku istri yang (harus
jujur kuakui) sulit sekali untuk tunduk, fiuhhh… Kami berdua perlu belajar
mengasihi tanpa syarat seperti Kristus mengasihi kami. Aku perlu belajar tunduk
dan percaya pada abangku sebagaimana aku perlu tunduk dan percaya pada Kristus,
kedua-duanya sama sulitnya. Sulit karena aku lemah dan egois, karena aku
menganggap diriku benar. Sulit untuk tunduk dan percaya sepenuhnya. ARRGGHHHHH…Ini
perjuangan kami seumur hidup deh. Hanya Kristus yang memampukan, kalau dengan
kekuatan sendiri mending lambaikan tangan ke kamera deh :p
Suami istri tentunya tahu betapa
hal ini tidak mudah dilakukan. Di awal-awal menikah, sekali atau dua kali
mungkin kita masih dapat berkompromi, mengampuni, tapi…lama-kelamaan kita
merasa bosan dengan pengorbanan yang kita lakukan. Mengapa kita harus
mengasihinya? Mengapa kita harus selalu mengampuni pasangan? Mengapa kita harus
bertahan dengan seseorang yang menyebalkan ini? Karena Tuhan menginginkannya, sesimple itu.
Tapi apakah kita juga menginginkannya? Tentu saja ingin. Siapa sih yang tidak
ingin. Tapi menginginkannya sebesar Tuhan menginginkannya tidak mudah. Kembali,
kita harus mengusahakannya-menjadikan pernikahan kita sarana memuliakan Tuhan
dan menyenangkan hatiNya, bahkan jika itu membuat kita merasa tidak nyaman atau
menderita. Kalau ingin hidup nyaman tanpa derita, well…mungkin sebaiknya kita
tidak usah menikah. Pernikahan melibatkan dua orang dewasa yang begitu
mengasihi sehingga bersedia berkorban demi satu sama lain. Pernikahan
melibatkan dua orang yang berkomitmen untuk tetap bersama apapun terjadi.
Jika pernikahan hanya bertujuan
mendapatkan keturunan atau hanya untuk hidup bahagia, tentunya tidak
mengherankan jika banyak pernikahan yang tidak bertahan alias cerai. Atau,
kalaupun bertahan, maka penyebabnya hanyalah keterpaksaan, ‘terlanjur’ katanya,
apa kata keluarga dan orang lain jika sampai bercerai? Di luar rumah, pernikahan
terlihat baik-baik saja, orang lain melihat suami istri sebagai pasangan yang
mesra, tapi ternyata di rumah suami istri saling berkata sinis, tidak ada keintiman,
tidak ada kasih. Ini bukanlah gambaran hubungan Kristus dan jemaat yang kita
inginkan, ya kan?
Semoga aku dan abangku
sungguh-sungguh menyenangkan Tuhan dan memuliakanNya dalam kehidupan pernikahan
kami. Semoga pernikahan kami sungguh-sungguh menjadi gambaran hubungan Kristus dan jemaat. Amin.
Kasongan, 15 Juli 2015
-Mega Menulis-
No comments:
Post a Comment