Friday, June 20, 2014

Tumbenan Ngomong Masalah Pendidikan


Gara-gara nonton link yang dibagi Grace tentang alasan AniesBaswedan memilih Jokowi, jadi penasaran dengan tulisan Saya Pasti Kecewa denganAnies Baswedan , searching di googledan sampai di sebuah blog milik Edward Suhardi. Plis dilihat deh.


 Menonton video di link tersebut bener-bener membuat mata berkaca-kaca, dan akhirnya gak tahan juga aku nangis diam-diam (soale malu sama kawan yang duduk di sebelahku). Tiba-tiba rasa cinta kepada bangsa ini meluap lagi, ada harapan untuk Indonesia, ada harapan jika kita mau berbuat sesuatu. Indonesia itu luar biasa, gak Cuma sumber daya alamnya, sumber daya manusianya luar biasa lo. Sayang, pendidikan anak-anak di pedalaman kurang diperhatikan.

Jadi teringat, beberapa tahun yang lalu, tahun 2011 kali gak salah, aku dan beberapa kawan melakukan perjalanan dinas ke sebuah desa di Kecamatan Bukit Raya, jauh banget. Itu ya bo, dari Kasongan tempatku sekarang aja mesti 3-4 jam naik travel, trus lanjut lagi lewat sungai hampir 5 jam. Kebayang lah ya jauh dan melelahkannya. Di desa ini (aku lupa nama desanya) gak ada tuh yang namanya listrik. Kami tidur di rumah kepala desanya. Karena kami menginap di sana, kami berkesempatan berinteraksi dengan anak-anak kepala desa. Anaknya yang pertama sudah kelas 6 SD, dan dia gak ngerti konsep pembagian. Yang kayak gini gimana coba mau ujian nasional dengan standar soal yang sama dengan mereka yang ada di kota,apalagi di Jawa sana. Dari perbincangan kami dengan si anak, kami mengetahui kalau guru-gurunyanya sering gak masuk mengajar, alamak, kasian banget kan.  

Mudah untuk menyalahkan para guru yang gak betah di pedalaman, tapi ayo deh jujur-jujuran, seberapa lama kita tahan ada di tempat yang gak ada listrik untuk bertahun-tahun? Wong kemarin listrik mati dari jam 10 pagi terus baru hidup jam 1.30 subuh aja aku dah mo tereak-tereak rasanya, lah gimana kayak mereka?

Menjadi guru itu gak mudah. Tambahkan ketidakmudahan itu dengan penempatan di pedalaman yang jauh dari mana-mana, gak ada listrik, sinyal hape gak ada(apalagi sinyal buat ngenet),biaya hidup yang mahal, apa gak nangis kon. Aku yang baru beberapa hari di sana gak dapat sinyal hape dan listrik aja rasanya gimana gitu. Belum lagi di pedalaman emang minim akan banyak hal, minim fasilitas, minim hiburan, minim gaji dan minim yang lain-lain. Hanya beberapa guru dari kota yang tahan untuk tinggal di desa dalam jangka waktu yang lama, setelah beberapa tahun (kalo nyampe ya…), pasti berbondong-bondong deh minta pindah ke kota atau desa lain yang lebih ramai. Kebanyakan begitu. Gak semua sih.

Gak hanya  masalah di atas. Bagaimana dengan menjadi guru di kota? Dulu banget, menjadi guru bukanlah profesi yang diidam-idamkan banyak orang. Seenggaknya di tempatku. Ingat banget deh waktu aku SD-SMP, buanyak banget tuh mahasiswa papahku (dia dosen Jurusan Kehutanan), satu angkatan nyampe deh ratusan. Karena apa? Sektor kehutanan jadi primadona di Kalimantan karena menjanjikan pekerjaan yang lebih mudah didapatkan, uang yang banyak pulak, secara, perusahaan pemegang HPH bertebaran di mana-mana. Lulus, gampanglah dapat kerja. Belum lagi Dinas Kehutanan pastinya memerlukan banyak sarjana kehutanan. Jurusan Ekonomi juga lumayan banyak tuh mahasiswanya dulu.

Nah, setelah aku lulus kuliah kudapati ternyata  yang menjadi primadona di kampus sini adalah pendidikan guru. Padahal dulu ma gak sebanyak sekarang mahasiswanya. Serius. Dari mana aku tahu? Lah, kalo OSPEK kan mereka mahasiswa ditereakin sama seniornya kan di dekat rumah, hehehe. Kenapa sekarang banyak yang mau jadi guru, padahal dulu sedikit? Soale zaman dulu banyak orang bilang “Gak ada tuh guru yang kaya”. Gaji guru zaman sekarang beda banget lo katanya dengan zaman sekarang. Beberapa tahun ini, sejak anggaran pendidikan naik, sejak itu pula banyak orang berlomba-lomba menjadi guru. Profesi guru dipandang menjanjikan. Setiap tahun, penerimaan PNS paling banyak untuk tenaga pendidikan dan kesehatan. Belum lagi, guru yang lulus sertifikasi akan mendapat tunjangan profesi, lah gimana gak berlomba-lomba jadi guru?

Gak salah dunk ada tunjangan profesi gitu, aku mendukunglah, apalagi banyak guru-guru yang memang pantas mendapatkannya. Kalau guru sejahtera, dia bisa fokus dunk untuk mendidik dan mengajar nantinya. Iya kan? Masalahnya adalah motivasi seseorang untuk menjadi guru bukan lagi karena panggilan ingin menjadi pendidik dan pengajar, tapi supaya lulus cepat dapat kerja. Nah, udah lulus, dapat kerja, tapi begitu dapat penugasan jadi guru di pedalaman yang kayak aku bilang tadi, apa gak tereak dan nangis tuh. Kesaksian seorang kawanku yang ditugaskan, baru sehari dia ditugaskan di pedalaman dah gak betah dia. Kasihan deh jadinya. Tapi ya gimana lagi.

Permasalahan dunia pendidikan memang sangat kompleks ya?
Sungguh bersyukur ada orang seperti Anies Baswedan dengan Indonesia Mengajarnya.
Sungguh bersyukur banyak orang  yang mau terlibat dalam gerakan Indonesia Mengajarnya.
Kalo melihat dunia pendidikan di Indonesia kadang bikin angkat tangan, tapi melihat video di atas, aku optimis, masih ada kok harapan untuk dunia pendidikan Indonesia.
Anies Baswedan for Mendikbud RI 2014, I pray ^^

Kasongan, 19 Juni 2014
-Mega Menulis-

No comments: