Jika kita merenungkan betapa
besar kasih Allah pada manusia, pastinya kita akan terheran-heran dan berkata,
“Kok bisa ya?” Kasih-Nya sungguh melampaui segala akal. Sejujurnya, manusia bukan
makhluk yang mudah untuk dikasihi, karena manusia memiliki kecenderungan berbuat
jahat dan melawan Allah. Alkitab dan sejarah menunjukkan betapa manusia selalu memilih
untuk menentang Allah dengan melanggar larangan-Nya, sebagaimana Adam, Hawa,
Musa, Nuh, Daud, Salomo, dan masih banyak lagi orang yang telah berdosa pada
Allah. Semua orang (termasuk anda dan
saya) telah berbuat dosa dengan memilih menentang Sang Pencipta. Tapi anehnya,
Allah memilih untuk mengasihi orang
berdosa seperti kita. Bahkan karena kasih-Nya Ia merancangkan misi penyelamatan
yang tidak masuk akal: Allah memberikan diri-Nya sendiri untuk menanggung dosa dan
kesalahan kita! Ia mau mengorbankan diri-Nya untuk menebus dosa kita sehingga kita
tidak perlu menerima penghukuman. Di mana lagi kita akan mencari kasih yang
seperti ini?
Pintu kasih karunia dibuka untuk
kita, agar kita menjadi anak-anak-Nya sekaligus ahli waris semua janji-Nya
dalam Alkitab. Dan kasih Tuhan tidak berhenti sampai di situ. Setelah kita
menjadi milik-Nya, apabila kita jatuh dalam dosa, pengampunan dan
pertolongan-Nya tersedia bagi kita.
Alkitab
berkata:
Tetapi dalam semuanya itu
kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.
Sebab
aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah,
baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di
atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita. —Roma 8:37-39
“Tidak akan ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam
Kristus Yesus, Tuhan kita.” Tidakkah kalimat tersebut
membuat hati terasa penuh? It surely does
to me!
Orang-orang yang
dikasihi Allah juga dikatakan melebihi orang-orang yang menang. Jika euphoria
seseorang yang memenangkan pertandingan hanya berlangsung sesaat, maka pengalaman
dikasihi oleh Allah adalah sesuatu yang akan terus dirasakan mereka yang telah menerima
Allah. Saya merasakannya: saya telah dan masih mengalami kasih-Nya setiap hari.
Saya tahu bahwa saya sangat dikasihi. Kasih-Nya begitu besar sehingga Ia telah memberikan
anak-Nya yang tunggal untuk menebus dosa saya—Ia mengasihi saya ketika saya
berdosa. Kasih-Nya begitu kuat sehingga maut pun tak berdaya memisahkan—ada kehidupan kekal bersama
Allah menanti setelah kematian. Saat Allah telah menyatakan kasih-Nya dan kita menerima
kasih itu, Ia akan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Allah
mengubah kita, kasih-Nya mengubah hidup kita, cepat atau lambat.
Mengenal Allah,
dikasihi oleh-Nya, dan hidup bersama-Nya membuat kita mengetahui seperti apa hidup
yang Dia inginkan. Kita mulai belajar mengasihi dari Allah yang adalah Kasih itu
sendiri. Kita mulai memanggil-Nya Bapa, dan belajar dari Bapa kita di sorga bagaimana
mengasihi. Firman-Nya terus meminta kita mengasihi seperti Dia mengasihi.
Saudara-saudaraku
yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kita berasal dari Allah; dan
setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.
—1 Yohanes 4:7
—1 Yohanes 4:7
Kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu mengasihi
kita.
—1 Yoh 4:19
—1 Yoh 4:19
Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya
kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu
harus saling mengasihi.
—Yohanes 13:34
—Yohanes 13:34
Dan perintah ini telah kita terima dari Dia,
barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.
—1 Yohanes 4:21
—1 Yohanes 4:21
Allah terlebih dahulu mengasihi
kita. Ia memberikan kasih-Nya pada kita,
sehingga kita mampu mengasihi orang lain. Tidaklah mungkin kita memberikan sesuatu
yang tidak pernah kita miliki, demikian pula tak mungkin kita bisa mengasihi dengan
benar jika kita tidak tahu bagaimana caranya mengasihi. Allah memberikan teladan-Nya
dalam mengasihi.
Firman Tuhan berkata, “Ikutilah teladanku” (Efesus 5:1).
Kita tidak diminta melakukan sesuatu yang tidak pernah diteladankan; Tuhan
meminta kita melakukan apa yang telah dicontohkan kepada kita. Ia
memerintahkan kita mengasihi sama seperti Ia telah terlebih dahulu mengasihi kita.
Jadii...
Kita dapat melepaskan pengampunan,
bersabar terhadap setiap kesalahan kecil maupun besar yang dilakukan sesama kita
karena Allah itu suaaaaabarnyaaaaaa luar biasa. Jika Dia dengan sangat sabar memaklumi
dan mengampuni kesalahan-kesalahan kita yang jauh lebih besar, mengapa kita membatasi
kesabaran pada sesama kita?
Kita dapat berbuat baik pada sesama,
tak peduli sikap mereka pada kita karena kita telah mengalami kemurahan hati
Allah dan kebaikan-Nya dalam hidup kita yang tak pernah berhenti. Tak pernah satu
hari pun kita lewati tanpa Dia berbuat baik pada kita. Jika demikian, bukankah
sepantasnya kita juga berbuat baik kepada semua orang, bukan hanya mereka yang
berbuat baik pada kita?
Kita seharusnya tidak berbuat curang
pada sesama dan mencari keuntungan dari sesama kita, karena mengasihi berarti mengharapkan
yang terbaik dan melakukan yang terbaik, sama seperti Allah yang telah mengasihi
kita dengan memberikan yang terbaik bagi kita—diri-Nya sendiri. Jika Dia yang adalah Allah menunjukkan kasih-Nya dengan
pengorbanan-Nya, mengapa kita, alih-alih berkorban bagi sesama, malah mencari keuntungan
bagi diri kita sendiri?
Kita tidak perlu marah dan menyimpan
kesalahan orang lain, karena mengasihi berarti tidak menyimpan dendam dan menjadi
begitu kritis terhadap kesalahan orang lain. Apabila Allah yang tahu kesalahan dan
dosa kita memilih tidak mengingat-ingat lagi pelanggaran kita, mengapa kita mengenang-ngenang
kesalahan yang dilakukan orang lain?
Jika kita merasa sulit mengasihi
sesama, ingatlah betapa Allah telah terlebih dulu mengasihi kita dengan kasih
yang kekal, bahkan Ia tidak membiarkan ada yang memisahkan kita dari kasih-Nya.
Ingatlah:
Allah
mengasihi kita sebelum kita mengasihi-Nya
Ia mengasihi saat kita masih berdosa.
Tanpa syarat.
Dengan sadar Ia memberi.
Ia mengasihi saat kita masih berdosa.
Tanpa syarat.
Dengan sadar Ia memberi.
Berkorban.
Bersabar.
Selalu.
Bersabar.
Selalu.
Sebagai
penurut-penurut Allah, tidakkah kita ingin mengasihi seperti Dia mengasihi?
Ditulis untuk Majalah Pearl edisi 32
No comments:
Post a Comment