Amsal 26:21 (TB) Seperti arang untuk bara menyala dan kayu untuk api, demikianlah orang yang suka bertengkar untuk panasnya perbantahan.
Ada orang-orang tertentu yang ucapannya gak menyenangkan dan memancing pertengkaran karena suka asal ngomong. Orang ini gak memikirkan dampak ucapannya, wong emang ngomong gak dipikir. Untuk menenangkan dirinya orang akan bilang ini ngomong apa adanya, tapi kalau kita mau jujur memikirkan dampaknya pada perasaan orang lain yang mendengar, dan kita tahu akan menyakiti orang lain, apakah kita tetap akan asal ngomong?
Standar kesensitifan setiap orang gak sama, omongan yang kita anggap biasa bisa jadi menyakiti hati orang lain dan memanaskan suasana. Aku perlu belajar memperhatikan omonganku. Apalagi menyadari akhir-akhir ini aku sering berbantahan dengan suami. Bukan yang berbantahan gimana sih, tapi aku meresponi ucapan suamiku dengan jawaban yang gak menyenangkan. Aku ngeri teringat ayat ini:
Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” 1 Timotius 3:14
Bagaimana aku bisa jadi teladan dalam hal perkataan buat Sara kalau aku masih suka asal ngomong dan berbantahan dengan suamiku? Inilah teladan yang akan dilihat dan ditiru Sara. Duh. Sedih. Aku gak mau Sara jadi gitu. Aku harus lebih lagi memperhatikan perkataanku, berpikir sebelum bicara.
Kisah Para Rasul 26:32 (TB) Kata Agripa kepada Festus: "Orang itu sebenarnya sudah dapat dibebaskan sekiranya ia tidak naik banding kepada Kaisar."
Baca ayat ini seperti dikasih tahu kalau Paulus yang MEMILIH sendiri untuk naik banding kepada Kaisar. Seakan-akan Paulus gak tau masalah hukum. Mungkinkah demikian? Kupikir nggak. Paulus sengaja memilih naik banding daripada dibebaskan karena Ia memilih memuliakan Tuhan dengan bersaksi di depan banyak orang. Dia gak memilih jalan yang mudah untuk menyenangkan diri sendiri melainkan memilih jalan yang sulit demi tujuan yang lebih besar. Fokusnya adalah Tuhan, bukan dirinya.
Di antara pilihan-pilihan yang ada dalam hidup kita setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan memilih untuk fokus pada kepentingan diri sendiri atau kepentingan Allah. Maukah aku seperti Paulus yang memilih jalan sulit demi memuliakan Tuhan? Atau aku mencari enaknya sendiri demi diri sendiri? Sejujurnya aku sering mau enaknya sendiri, yang penting tujuanku tercapai. Kisah Paulus ini mengingatkanku kalau ada tujuan Allah yang jauh lebih besar dari tujuanku.
Palangka Raya, 26 Februari 2018
-Mega Menulis-
No comments:
Post a Comment