Thursday, March 16, 2017

Mengapa Bertahan

Malam ini, untuk kesekian kalinya, aku dan Sherry menghabiskan menit-menit kami di mobilnya, mengelilingi kota cantik tempat kami dibesarkan, melalui jalan yang sama (ingat, kota kami kecil :p) sambil membicarakan apa saja, seperti layaknya dilakukan dua sahabat saat bersama. Aku menamakan kegiatan ini “ngabisin bensin” dan Sherry akan protes karena mobilnya memakai PERTAMAX, hahaha. Seperti biasa, pembicaraan mengenai kantor adalah wajib hukumnya.

“I hate this job”, pengen banget ngomong kayak gitu SETIAP KALI kami membahas kegilaan di kantor kami. Tapi aku menutup mulutku rapat-rapat sehingga gak pernah kalimat itu terucap. Gimana pun iman timbul dari pendengaran kan katanya, jadi jangan sampe telingaku dengar diriku ngomong gitu deh #prinsip konyol. Kubilang konyol karena gimana pun hatiku meneriakkan kalimat tadi berulang kali sampai gak bisa kuhitung.
Masa sih gak ada yang membuatku mencintai pekerjaanku?
But, I have to tell you the truth…
Aku benci bosku.
Aku benci beberapa rekan kerjaku.
Aku benci sistem kerja di tempatku.
Aku benci saat pimpinan mengerjakan segalanya tanpa aturan.
Aku benci saat diterapkan standar ganda di kantor.
Aku benci melihat bagaimana pembiaran hal-hal yang gak benar terjadi
Aku benci saat mereka mengatakan A tapi melakukan B.
Aku benci saat mereka yang berkuasa seenaknya saja memperlakukan mereka yang di bawahnya.
I HATE THIS JOB!!!

Lalu kenapa aku bertahan?
Berulang kali menanyakan ini kepada diriku sendiri.
Dulu, aku ingin membuat perubahan di lingkungan ini.
Akhir-akhir ini mau bilang,”Aku menyerah Tuhan”. Tapi kok ndilalah gak juga nyerah :p.
Bingung mau ngapain menjadikanku apatis dan cuek sama keadaan kantor.
Aku seperti robot. Mengerjakan tugasku sebaik-baiknya pada jam kerja. Datang tepat waktu. Pulang tepat waktu. Done.
Ini gak ada bedanya dengan nyerah kan?

Aku memandang iri ke Sherry, yang belum juga berhenti menceritakan kantor “tercintanya”, sambil sesekali berkata, “Pokoknya, gue bakal keluar dari xxxx #sensor# dan mau jadi TKI ke luar negeri”. Sejak beberapa bulan awal masuk di tempat kerjanya hingga sekarang, dia telah mengatakannya ratusan (ato ribuan) kali kalimat tersebut. Aku iri karena dengan entengnya dia bisa berkata demikian. Sementara aku berucap dengan mulutku ‘mau keluar’ pun gak pernah.

Well, sejujurnya aku merasa berdosa berkata demikian jika mengingat bagaimana Tuhan memberikan pekerjaan ini.
Mengingat visi yang Dia taruhkan di hatiku di tahun-tahun terakhirku kuliah.
Mengingat bagaimana dengan caraNya yang ajaib Dia berikan pekerjaan ini.
Aku percaya, Dia menempatkanku di sini karena suatu alasan, dan aku bertahan sampai hari ini.
Dia rupanya alasanku bertahan
Saat ini Cuma bisa berdoa dan berharap supaya aku gak lagi jadi robot, tapi mengerjakan pekerjaan ini dengan hati. Berhenti tawar hati, dan mulai melakukan yang terbaik.
Dan Dia saja satu-satunya yang akan menjadi alasanku jika aku keluar dari pekerjaan ini.

Kembali aku menatap Sherry, bertanya-tanya, kapan dia akan mengerjakan apa yang dia katakan.
Jika dia benar-benar jadi TKI, aku pasti akan sangat merindukannya.
Dan jika dia bertahan, aku penasaran mengapa.

#tulisan lawas

-Mega Menulis-

No comments:

Karakter di Dunia Kerja

Dari kecil karakter seseorang mulai terbentuk. Kalau sudah dewasa, sulit mengubah karakter seseorang. Jadi kalau kamu berkarakter buruk saat...