Bagi saya meminta maaf bukanlah sesuatu yang sangat
sulit, apalagi bila syarat dan ketentuan di bawah ini terpenuhi:
Saya memang bersalah (Saat saya menyadari kesalahan
yang saya perbuat, terutama jika itu melukai hati seseorang atau menyinggung
seseorang, saya dapat bersegera meminta maaf)
Saya ingin segera berbaikan (Sungguh tidak nyaman
bertengkar dengan seseorang yang dengannya kita biasa bergaul sehari-hari atau
menghabiskan waktu bersama)
Bertengkar bukan karena hal yang prinsip.
Saya merasa hubungan ini harus segera diperbaiki.
Mengerti dan memahami situasi yang terjadi.
Melakukan kesalahan bukan dengan dengan keluarga
inti (Sad but true, saya juarangggg…banget meminta maaf pada mamah dan
adik-adik saya jika kami bertengkar. Mungkin karena merasa keluarga selalu
mengerti dan memahami diri kita dan segera dapat berbaikan tanpa kata ‘maaf’
sehingga kata maaf jarang terucap).
Mudah bilang maaf.
Saya gampang meminta maaf.
Tapi saya seringkali mengulang kesalahan saya.
Saya menyadari saat dalam candaannya, abang
saya..ehem…maksud saya calon suami saya berkata,”Kamu ni dek, selalu…bla…bla…bla…
(dia menyebutkan kesalahan saya yang berulang)”. Dia mengucapkannya dengan nada
bercanda, tapi saat saya konfirmasi, apakah dia merasa demikian, dia
mengakuinya.
Saya sakit hati awalnya, tak terima mendengar kata ‘SELALU’
itu. Naluri pertama saya adalah membela diri,”Ngga ah, aku gak gitu, dah
mendingan kok sekarang. Aku gak selalu kayak gitu”. Mendengar kata ‘SELALU’ itu
gak enak banget. ASLI. Kesannya kok bebal banget ya, kok selalu mengulang
kesalahan yang sama. Saya sudah berusaha berubah dan gak mengulang kesalahan
saya, tapi kenapa sih dia berkata demikian?
Setelah diam dan merenung-renung, mengoreksi diri,
iya juga sih…saya belum berubah sepenuhnya, terkadang saya gagal. Seringkali
saya gagal untuk tidak mengulangi kesalahan saya. Setiap saya berbuat salah,
saya meminta maaf, abang saya memaafkan saya. Saya mengulangi lagi kesalahan
saya. Tidak secepat dulu sih mengulangnya. Dalam jangka waktu yang agak lama
sih. Tapi tetap saja, memang saya mengulangi kesalahan saya. Abang saya
memaafkan. Demikian berulang.
Fiuh….
Saya salah.
Dan saya tahu, saat saya minta maaf, saya akan
dimaafkan.
Tapi itu perkara berbeda dengan tidak mengulanginya
lagi. Benar-benar berbeda.
Adalah baik meminta maaf, tapi alangkah baik lagi
jika kita juga tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Itu yang saya pelajari dari abangku.
Dan sebaliknya, abangku mengaku kalau ia juga
belajar meminta maaf dalam hubungan kami berdua.
Di awal hubungan kami berdua, saya mendapati kalau
abangku tidak pernah meminta maaf. Bukan karena ia tak menyadari kesalahannya.
Tapi dia menunjukkannya melalui perbuatannya. Saat saya komplain akan suatu
hal, kami akan membicarakannya, dan setelah itu dia tidak mengulangi
kesalahannya.
Saya tidak puas.
Maunya saya, kalo salah ya minta maaf dong, ngaku
kalo salah, terus berubah dong.
Tapi dia berbeda. Dia lebih suka menunjukkan
penyesalannya melalui tindakan.
Apakah semua pria demikian, saya tidak tahu. Tapi
itu yang saya lihat, alami dan rasakan.
Saya hebat dalam berkata-kata, tapi tidak sepandai
dia dalam bertindak.
Jika saya mudah bilang maaf, abangku berbeda. Dia
sulit meminta maaf.
Dulu sih….
Saya bersyukur, dia mau berubah. Dia mau meminta
maaf sekarang.
Saya bersyukur, dia masih memaaafkan kesalahan saya
yang berulang.
Sekarang saya yang masih terus belajar untuk menunjukkan
penyesalan lewat tindakan, gak cuma ngomong ‘MAAF’ doang.
Kasongan, 24 Februari 2015
-Mega Menulis-
PS. Saya sudah komplain untuk penggunaan kata ‘SELALU’
dan abang saya bingung kenapa saya komplain bila memang benar, tetapi dia minta
maaf karena kesan negatif kata ‘SELALU’ itu menyakiti saya. Iya sihhhh….logika
saya menerima, kalau itu emang kenyataan, tapi hati saya tak terima, gimana
dong? Yang jelas, dia gak pernah lagi sih bilang ‘SELALU’. Semoga karena saya
memang sudah berubah. LOL.