Tuesday, February 5, 2019

Sacred Marriage (Chapter 3)

Sacred Marriage
Chapter 3

Pernikahan dapat menjadi sebuah arena pelatihan di mana kemampuan kita untuk mengalami dan menunjukkan kasih Tuhan diperkuat dan dikembangkan. Kita menunjukkan kasih kita kepada Tuhan, antara lain dengan bersungguh-sungguh mengasihi pasangan kita.
Membaca bagian ini jadi teringat perintah Tuhan tentang mengasihi:Kasihilah sesamamu seperti mengasihi diri sendiri. Mengasihi sesama adalah salah satu perwujudan kasih kita kepada Tuhan. Mudah untuk berpikir kalau sesamaku itu orang lain di luar sana, bukannya suamiku yang serumah denganku padahal sebenarnya lebih banyak kesempatan untukku mengasihi suamiku yang selalu ada bersamaku. Buat apa bingung mencari orang lain dan bagaimana cara mengasihi mereka kalau Tuhan sudah mengizinkanku memilih dia yang harus kukasihi seumur hidupku. Ya, mengasihi suami dengan segenap hati berarti mengasihi Tuhan dengan segenap hati juga.


Kita tidak pernah bisa "terlalu banyak" mencintai seseorang. Masalah kita adalah pada umumnya kita terlalu sedikit mencintai Tuhan.
Masalahnya, sering kali aku merasa mengasihi itu gak gampang kalau objeknya manusia. Gimana melakukan kasih seperti di 1 Korintus 13 yang gak berkesudahan? Ini berarti terus bersabar (meskipun suami mengulangi kesalahan yang sama) , terus murah hati (memberikan pengampunan padahal hati masih kesal), dan waktu menulis ini aku merasa aku yang memegahkan diri ya karena merasa benar terus. Duh. Mengasihi ternyata berkorban ya. Dan aku ingat bagaimana Tuhan mengasihiku, dengan pengorbanan. Kalau aku mencintai Tuhan, sediakah aku berkorban dengan berjuang dan berusaha mencintai suamiku?

Pernikahan menciptakan situasi di mana cinta mengalami ujian terberat. Ujian itu adalah bahwa cinta harus diusahakan.
Pernah baca di mana gitu, kalau cinta ke anak itu otomatis. Lebih mudah bangun tengah malam dan buatkan anak susu, dibandingkan malam-malam dibangunin suami untuk bikin Indomie. Mudah menunjukkan cinta ke suami saat aku merasa mencintai suami atau saat love tankku penuh. Kalau ngga? Susaaahhh....  Apalagi kalau suami bikin kesal. Minta pijat? Bye... Aku tidur dulu ya suami. Tapi pernikahan adalah komitmen mencintai seumur hidup. Saat males melayani suami, ingat-ingat aja kalau aku sudah berkomitmen mengasihi dia seumur hidup. Dan kalau yang kulakukan ini menunjukkan kasih ke suami, lakukan! Gak peduli mood atau nggak (nulis ini kok berasa nusuk-nusuk diri sendiri ya).

Adakalanya memang sulit untuk mencintai pasangan kita,  tetapi itulah gunanya pernikahan, mengajarkan kita untuk mencintai.
Pasanganku adalah partnerku belajar mencintai. Mencintai sesama yang lain boro-boro dah kalau sama suami yang tiap hari ketemu aja gak bisa dicintai, apalagi Tuhan yang gak kelihatan?
Saya mulai menahan lidah saya.
Saya mulai mengakui kesalahan-kesalahan saya dan meminta maaf untuk semuanya itu.
Saya berhenti membela diri ketika saya dihakimi dengan terlalu keras, sebab yang terutama bukanlah dibenarkan tetapi untuk mencintai.
(Dr. Barger)
Baca ini ketampar bolak-balik, diingatkan kalau yang terpenting adalah UNTUK MENCINTAI. Apapun yang dikatakan suami, tetap tunjukkan kalau aku mencintai suami. Mulai diam, jangan buka mulut, minta maaf, berubah jika perlu. Yang terpenting, kasihi suami dengan sungguh apapun yang terjadi. Kalau aku mencintai suami dengan sungguh, aku akan lebih sungguh bersabar, lebih bermurah hati memberikan yang terbaik, lebih mudah mengampuni, gak gampang marah dan menyimpan kesalahan suami. Aku mau berusaha mengasihi lebih sungguh.

Palangka Raya, 5 Februari 2019 
-Mega Menulis-

No comments: