Saturday, March 9, 2019

Sacred Marriage (Chapter 5)

Sacred Marriage
Chapter 5

Kita diajarkan jika ingin memiliki pernikahan yang kuat, kita harus memperbaiki kehidupan doa kita. Namun, Petrus mengatakan bahwa kita harus memperbaiki kehidupan pernikahan kita supaya kehidupan doa kita dapat diperbaiki (bdk 1 Petrus 3:7).
Aku termasuk orang yang berpikir seperti kalimat pertama, kalau aku banyak berdoa pasti kehidupan pernikahanku baik. Tapi penjelasan tentang 1 Petrus 3:7 tersebut membuatku berpikir ulang. Ternyata kehidupan pernikahanku akan menentukan bagaimana kehidupan doaku. Ada perasaan malas menghadap Tuhan saat pikiran dan hatiku dipenuhi masalah dengan suami. Bagaimana aku berkomunikasi dengan baik sama Tuhan yang gak kelihatan kalau dengan suami yang kelihatan aja aku gak bisa berkomunikasi dengan baik. Aku mendapati kalau kehidupan doa dan pernikahan adalah dua hal yang gak terpisahkan. Dan saat aku menyadari ini, sesuatu terjadi. Tiba-tiba suami bertanya apakah aku sibuk atau nggak (padahal dia liat aja aku sedang baca. Lol). Aku tergoda bilang sibuk supaya dia gak menggangguku, hahaha. Tapi aku malah bilang,"Dibilang gak sibuk nggak, dinilang sibuk juga nggak, kenapa?". Dan suami minta tolong bikin Indomie dong. Tuing-tuing. "Gak bisa kah nanti aja, aku sedang baca nih" kataku dalam hati. Tapi, daripada berkata demikian, aku memilih memenuhi permintaannya. Kehidupan pernikahanku akan mempengaruhi kehidupan doaku,dan kalau apa yang kulakukan bisa membuat pernikahanku lebih baik, kenapa aku gak lakukan. Ini bukan sekedar tentang membuat Indomie, tapi memprioritaskan suami dan menunda melakukan sesuatu toh gak akan menyakitiku. Well,  semoga ini gak sesaat aja. Lol.


Hubungan kita-khususnya pernikahan kita-merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelayanan kita.
Seringkali pernikahan dipisahkan dari pelayanan. Padahal, pelayananku akan menjadi penuh integritas saat pernikahanku juga juga baik. Aku menganggap saat aku menulis artikel untuk Pearl dan blogku adalah pelayananku (GR ada yang baca, hahaha). Nah, bagaimana mungkin apa yang kutulis punya kekuatan kalau aku berbohong. Kalau kehidupan pernikahanku gak benar dan aku menuliskan kebenaran firman Tuhan, bukannya pelayananku akan ditertawakan orang "Ah, apa yang dia tulis gak sejalan kok dengan kehidupannya". Amit-amit deh. Kupikir ini gak cuma berlaku dalam pelayanan literasi, dalam pelayanan terhadap orang lain juga. Ya aneh aja, kita bisa melayani Sekolah Minggu atau apa sajalah yang berkaitan dengan orang, bersikap manis kepada orang lain sementara sama suami /istri sendiri nggak.


Jika anda sudah menikah, bercintalah secara teratur. Hasrat seksual saya dan kebutuhan rohani saya tidak perlu bersaing, karena keduanya justru saling mendukung.
Sebagai seorang wanita (tsah....), bercinta dengan suami gak akan terjadi saat hubungan kami buruk. Amit-amit bercinta kalau lagi kesal sama suami, dipegang aja ogah. Nah, menurutku salah satu indikator kehidupan pernikahan yang sehat adalah frekuensi bercinta (jangan tanya masalah menopause atau LDR, itu ma beda kasus, hahaha). Tapi buatku, saat suami istri tinggal serumah dan bercinta hanya setahun sekali, wah patut dievaluasi, ada apa gerangan. Karena di dalam bercinta ada penyatuan tubuh dan jiwa. Saat ini terjadi, maka kehidupan rohani akan diperkuat.

Pernikahan membuat kita mau tidak mau harus berusaha keras untuk selalu berdamai.
Harus rukun dengan pasangan kalau mau doa gak terhalang. Sesimple itu. Teringat ada ayat yang berkata, saat mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan dan aku teringat ada masalah dengan saudaraku, maka harus dibereskan dulu baru aku kembali kepada Tuhan.Saat dalam pernikahan hubunganku dengan suami rusak,  penuh prasangka dan komunikasi kurang memang harus diakui aku jadi sulit berdoa. Mau gak mau, suka gak suka, aku harus hidup rukun dengan suamiku. Gimana caranya rukun? Fokus kepada Tuhan. Apa kata Tuhan tentang hal ini? Aku memilih melakukan kehendak Tuhan atau nggak. Saat ada hal yang aku gak suka dari suami apakah aku memilih untuk mengomel, menyindir, atau berkomunikasi dengan manis?  Saat kami berdebat, apakah aku mau mendengarkan dia atau aku merasa diriku pandai dan maunya didengar? Duh, hidup selalu rukun itu berat tapi bisa. Dan memang harus selalu diusahakan.

Palangka Raya, 9 Maret 2019
-Mega Menulis-

No comments: