“Abangmu itu baik Megi. Keliatan dari cerita2mu. Tapi lebih baik suamiku. Hahahahhaha...”
Temanku Lasma berkata demikian waktu aku komen di salah satu postingannya. Aku tertawa. Ya iya lah, serem banget lah ya kalau kita menganggap suami orang lain lebih baik daripada suami kita :p Komen Lasma itu membuatku teringat ayat ini:
Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri.
(Amsal 31:23)
// Berapa banyak di antara kita yang menikah dan lebih suka menceritakan keburukan pasangan dibandingkan kebaikannya?
Setelah merenung-renungkan ayat di atas, bisa jadi suami sang istri yang cakap di Amsal 31 itu dikenal orang lain karena andil istrinya juga. Mungkin istrinya tanpa sengaja atau dengan sengaja nulis blog kaya eike dan menceritakan tentang suaminya. Atau, bisa jadi si istri bercerita tentang suaminya waktu maen ke rumah tetangga. Entah bagaimana caranya, yang jelas suaminya dikenal orang lain, in a positive way.
Bagaimana kita ingin suami kita dikenal orang lain?
Apakah kita ingin dia dikenal karena keburukannya? Ngga kan?
Lalu, kenapa banyak istri yang membicarakan keburukan suaminya di hadapan orang lain?
Kenapa tidak memulai membicarakan kebaikan suami?
// Untuk apa membicarakan kebaikan suami sendiri?
Nah, coba pertanyaannya dibalik ya. Ngapain coba ngomongin keburukan suami? Oke, anggap saja suami memang punya keburukan, tapi, apa manfaatnya menceritakannya pada orang lain? Jangan-jangan, kejelekan yang kita ceritakan pada orang lain ini, justru belum pernah kita bicarakan pada suami kita sendiri. Jangan-jangan, selama ini suami ngga tahu kalau kita ngga suka dengan kejelekannya itu, tapi kita berharap dia berubah.
Membicarakan kekurangan suami dengan orang lain, tanpa membereskannya dengan langsung dengan suami, sebenarnya tanda kita sedang berlaku tidak adil. Bukankah tidak adil ketika kita mengharapkan suami berubah, tapi dia sendiri tidak tahu sifat/karakter apa yang kita tidak suka? Kan suami kita bukan paranormal, dia tidak bisa baca pikiran. Daripada menceritakan kejelekan suami, tentu saja lebih baik menegurnya dengan kasih, dan menolongnya untuk berubah.
Lagipula, saat kita menceritakan kesalahan suami pada orang lain, sebenarnya apa motivasi kita? Hanya untuk mendapatkan kelegaan dari sesi curhat? Kelegaan seperti ini sifatnya sementara lho, padahal reputasi suami kita sedang dipertaruhkan. Yang jelek dari ‘curhat supaya lega’ adalah, kita harus menceritakan hal tersebut berulang kali, sampai puas, baru lega. Masalahnya, mau cerita ke berapa orang sampai merasa lega? Yakin orang itu tidak menceritakan kembali pada orang lain? Gak kasihan sama suami? Kalau mau cari kelegaan, berdoalah. Lalu, bicarakan pada suami, dan cari solusinya sama-sama.
Bayangkan, seandainya kita punya kesalahan tapi suami gak pernah membicarakan hal tersebut, tapi justru bercerita ke seantero RT/RW tentang kesalahan dan keburukan kita. Sakit kan rasanya? Memang, pria jarang banget melakukan ini jika ada masalah dengan pasangan. Tapi, hal ini mengajari kita untuk memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan.
// Pamer kebaikan suami sendiri itu berarti sombong ngga sih?
Kembali ke motivasi diri kita, mau pamer atau ngga. Buat aku pribadi, saat kita mengucapkan kebaikan suami, sesungguhnya kita sedang mengingatkan diri sendiri tentang betapa bersyukurnya kita memiliki suami seperti yang kita miliki sekarang. Saat kita lebih memilih membicarakan kebaikan suami orang lain, kita jadi gak bersyukur punya suami seperti sekarang. Bayangkan, kita tiap hari ngeliat dan ngomongin kebaikan suami si A, atau si B. Kayak gini:
“Waduh, suami si A tu romantis banget yaaaa… Tiap hari sebelum ke kantor selalu cium si A (ini orang yang gini kerjaannya ngeliatin tetangga mulu kali ya, kok sampe tahu tiap hari gitu. LOL), suamiku mana pernah gitu.”
“Suami si B hebat banget ya, penghasilannya gede banget tuh kayaknya, tiap bulan sekeluarga berlibur ke luar negeri. Kalau kami? Mana pernah liburan bareng sekeluarga. Payah ah.”
Membicarakan kebaikan suami orang cenderung membuat kita membandingkan kualitas mereka dengan suami sendiri. Kalau sudah begini, kita bisa terjebak pada sikap tidak bersyukur. Sedih lho suami kita kalau tahu dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Seorang istri yang tidak bersyukur pastinya bukan istri yang bersukacita. Tanpa sukacita terhadap satu sama lain, akan jadi apa sebuah hubungan?
Berpikir sebelum berbicara memang ngga gampang. Tapi perhatikan ini:
Hidup dan mati dikuasai lidah,siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.
(Amsal 18:21)
Perkataan kita bisa membangkitkan suami dan membuatnya semakin bersemangat, menjadikannya pribadi yang lebih baik ATAUUUU... Perkataan kita bisa mematahkan hati suami dan membuatnya terpuruk.
Kalau ingin melakukan kebaikan pada suami, mulailah melakukannya dengan lidah kita.
// Tapi, susah banget mencari kebaikan suamiku. Gimana dong?
Susah mencari kebaikan itu biasanya karena memang kita biasanya lebih fokus pada apa yang kurang. Coba deh buat fokus pada kebaikan suami. Lalu berdoa dan bersyukurlah untuk hal-hal baik yang dia lakukan, karakter dan sifatnya yang kamu kagumi, hal-hal yang membuatmu jatuh cinta padanya. Ucapkan terima kasih pada Tuhan karena suamimu ada sebagaimana dia ada sekarang. Biarkan hatimu dipenuhi ucapan syukur karena Tuhan telah menganugerahi seseorang yang istimewa bagimu. Masih susah?
Beberapa waktu yang lalu, aku dan beberapa teman melakukan sebuah tantangan yaitu mendoakan suami dan mengucapkan terimakasih padanya SETIAP HARI. Pokoknya KUDU WAJIB HARUS temukan satu hal yang bisa disyukuri tentang suami kita. Bentuknya bisa apa saja: hal-hal yang dia lakukan, karakter yang disukai, atau caranya melakukan sesuatu. KALAU SAMPAI GAK ADA, kami HARUS melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa hormat dan kasih kita pada suami kita sekreatif mungkin.
INI TANTANGAN MUDAH.
MUDAH BANGET.
Kalau si istri sedang gak kesel sama suami.
Tapi, gimana kalau lagi kesel? Bisakah kita tetap bersikap manis dan menemukan kebaikannya? Bisa. Meskipun hal itu butuh komitmen dan kerja keras untuk fokus melihat hal baik pada suami. Tapi bisa.
Pernah suatu kali, suamiku membuat keputusan yang aku anggap salah dan aku nyaris mengatakan hal yang buruk seperti : “Kamu sih, kok dulu gak dengerin saranku?’, “Kenapa juga sih kamu harus melakukan itu?” atau “Makanya jangan rakus...!”
Tapi, aku sadar kalau hari itu aku berkomitmen untuk mengucap syukur. Walaupun kesal, aku menutup mulutku. Aku berpikir, apa yang bisa aku syukuri hari ini, apa yang bisa aku syukuri dari suamiku kalau kayak gini. Dan… CLING! Aku teringat kalau kami pernah mengalami hal yang mirip, dengan posisi yang berbeda. Aku yang berbuat salah. Dan suamiku MEMAAFKAN AKU. Dengan mudahnya. Gak pakai ngomel. Gak pakai ngobral nasehat. Segera. Gak pake ngambek atau menghukum dengan nyuekin. Suamiku bermurah hati melepaskan pengampunan. Lalu kenapa aku gak bisa melakukan hal yang sama? Sekejap, aku jadi bersyukur punya suami seperti suamiku, yang mudah memaafkan dan gak pernah menyimpan kesalahan. Wow! Aku diberkati dengan suami seperti ini. Gak terbayang kalau suamiku terus mengungkit kesalahanku.
Melalui tantangan tersebut, hatiku limpah dengan syukur karena menyadari betapa aku diberkati dengan seorang suami yang luar biasa. Aku berlatih memperkatakan hal yang baik kepada suamiku. Dan aku percaya akan memakan buahnya.
Kalau kamu? Bagaimana sikapmu pada suami saat ini?
Berani terima tantangan ini? ^^
Ditulis untuk Majalah Pearl
No comments:
Post a Comment