Saturday, June 22, 2019

Sacred Marriage (Chapter 12)



Pernikahan dapat menjadi sarana yang indah untuk melihat kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana sebuah sarana gak mendatangkan manfaat apa-apa kalau gak digunakan, pernikahan pun demikian. Gak semua orang yang menikah melihat kehadiran Tuhan, malahan ada yang semakin jauh dari Tuhan dan memakai pernikahan sebagai alasan. Alih-alih melihat kehadiran Tuhan, malahan melihat kehadiran setan. Hahaha. Wong ada kalimat gini, pernikahan dengan orang yang tepat membawa surga ke bumi sedangkan pernikahan dengan orang yang gak tepat menghadirkan neraka di bumi.
Butuh kepekaan untuk melihat kehadiran Tuhan dalam pernikahan. Sewaktu aku merasa sangat dikasihi suami, aku bisa melihat Tuhan yang sangat mengasihiku dan menyatakan kasihNya lewat suamiku. Waktu love tankku terasa kosong aku pun sebenarnya bisa merasakan bagaimana Tuhan mengasihiku walaupun suami belum bisa memenuhi love tankku. Yang artinya dalam segala situasi dan kondisi pernikahanku, gak peduli bagaimana pun perasaanku. Faktanya adalah Tuhan hadir.
✔️ Aku gak boleh membiarkan apa yang aku rasakan 'mengaburkan' kenyataan bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap waktu hidupku. Aku harus terus mencari Tuhan dalam segala situasi pernikahanku. Belajar fokus melihat Tuhan.


Kita dipanggil untuk membawa pasangan kita bertumbuh dalam Kristus melalui kata-kata yang kita ucapkan.
Aku merasa belum membawa pasanganku bertumbuh dalam Kristus melalui ucapanku. Seringkali waktu emosi, aku mengeluarkan nada yang kasar. Ini jelas gak membawa suami makin bertumbuh. Benar-benar susah untuk gak ngebantah dengan kasar saat suami mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapatku. Segala Amsal yang kubaca dan kutahu lenyap sekejap saat pengendalian diriku hilang dan membantah suamiku. Padahal aku tahu jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, bahwa perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya seperti buah apel di pinggan perak, bahwa jawaban yang tepat seperti mengecup bibir, bahwa perkataan yang menyenangkan seperti sarang madu yang manis bagi hati.
✔️ Aku harus melatih diriku untuk cepat mendengar dan lambat berkata-kata, seringnya aku melakukannya terbalik. Cepat ngomong dan gak mendengar dengan benar. Lebih baik diam kalau yang aku katakan bukan hal yang baik dan membangun. Aku harus pakai kekang di mulutku. Pikirkan akibatnya sebelum aku bicara.

Lidah dapat menjadi kejam dengan dua cara: dengan mengeluarkan kata-kata yang jahat, atau dengan menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang baik.
Aku merasa aku terkadang kejam dengan membantah suamiku dengan perkataan yang kasar dan suamiku jahat dengan jarang mengatakan yang baik ke aku. Itu perasaanku. Faktanya adalah kami sama-sama kejam dengan lidah kami.
✔️ Kalau  suami ngomong jahat, aku gak harus balas dengan lebih jahat. Kalau suami gak bisa ngomong yang baik, bukan berarti aku harus menahan diri mengatakan yang baik. Seharusnya apa yang aku ucapkan bukan sekedar reaksi dari aksi suami. Apa yang diucapkan lidahku adalah pilihanku.

Untuk menjalani pernikahan yang penuh kasih, saya harus belajar bagaikan menjinakkan lidah saya.
Semoga ini gak jadi pergumulanku seumur hidup. Aku benar-benar jatuh bangun dalam hal ini. Sering waktu aku merasa sudah bisa kendalikan lidahku, eh aku jatuh lagi. Harus terus berjaga-jaga dan menggunakan kekang di mulutku.

Komunikasi memaksa kita memasuki dunia orang lain. Saya harus menyadari bahwa kata yang sama bisa saja memiliki arti yang berbeda bagi masing-masing kami.
Suamiku dan aku berbeda dalam cara berkomunikasi. Sekarang sudah mendingan sih komunikasi kami. Dulu kalau suami ngomong sesuatu yang aku anggap menyinggung, aku langsung nangis, baper, ngambek, diam berhari-hari. Sekarang ditanya dulu maksudnya apa. Perkaranya adalah aku sering berasumsi tanpa cross check dulu sama suami maksudnya apa. Jadi ujung-ujungnya kesal sendiri, sementara suami merasa gak ada yang salah dengan perkataannya.
✔️ Stop berasumsi. Aku harus tanya dengan jelas maksud suami, tujuannya atau alasannya berkata atau melakukan sesuatu. Jangan baper.
Sisi lain dari komunikasi adalah belajar untuk mendengar.
Baru aja kemarin, suami protes lagi karena aku gak mendengarkan dengan sungguh perkataannya. Akibatnya aku melewatkan melakukan sesuatu yang diminta suami. Aku dibilang banyak pegang HP. Awalnya mau defense, tapi aku diam dan mikir. Waktu aku mengingat-ingat iya sih, akhir-akhir ini aku kembali sering pegang HP di rumah. Dulu aku udah ngurangin sih. Tapi sekarang mulai lagi.
✔️ Aku harus mulai berdisiplin lagi. Gak pegang HP waktu bareng bocah dan suami.

Kita bisa membantu orang lain menjadi sadar akan hadirat Tuhan dengan mendorong satu sama lain bertumbuh dalam kekudusan. Tetapi kita harus melakukannya dengan sangat hati-hati, karena kita ingin membawa hadirat Tuhan dalam hidup orang lain itu, bukan penghakiman kita.
Seringkali keteladanan bicara lebih keras daripada perkataan. Aku harus selalu mengingat kalau hanya Tuhan yang bisa memberikan pertumbuhan. Bagianku adalah mendorong pasangan semakin mendekat pada Tuhan, bukannya menjauhi Tuhan. Tentunya aku juga harus hidup dalam kekudusan. Dalam segala waktu di pernikahanku Tuhan hadir. Kesadaran akan hal ini seharusnya mengubah sikapku menghadapi suami. Aku seharusnya menjadi diriku yang terbaik, lebih sabar, lebih lemah lembut, gak ngambekan, yang gak suka berbantahan.
✔️ Kalau aku selalu melihat Tuhan yang hadir dalam pernikahanku, akankah aku memperlakukan suamiku seperti aku memperlakukannya sekarang? Kayaknya nggak deh. Aku mungkin akan lebih rajin, lebih sabar, lebih bisa mengendalikan diri, dll. Aku akan berusaha menjadi diriku yang terbaik. Dengan demikian, aku gak boleh lupa kalau Tuhan hadir dalam hidupku setiap waktu.

Palangka Raya, 22 Juni 2019
-Mega Menulis-

No comments: