Friday, March 26, 2021

Validasi Emosi (Day 4)

Kehendak anak masih lemah karenanya orang tua perlu benar-benar mengawal proses pelatihan kebiasaan baik dan memastikan anak melakukannya. Proses habit training tidak semudah yang dibayangkan, dalam praktiknya orang tua selaku habit trainer akan berhadapan dengan penolakan anak yang disertai emosi, pedebatan, teriakan, tangisan dan berbagai ekspresi emosi lainnya. Salah satu teknik yang perlu diketahui orang tua adalah validasi emosi. Teknik ini tepat digunakan karena sesuai dengan bagaimana otak bekerja. Secara umum otak terdiri atas : Batang otak (otak reptil), limbic (otak mamalia) dan neo cortex (otak manusiawi). Otak reptile dan otak mamalia bekerja sama menjadi otak emosional yang berfungsi memastikan  bertahan hidup dan cukup kasih sayang. Pada limbic terdapat bagian bernama amygdala yang berfungsi sebagai penafsir stimulasi suara ,sentuhan, bau, dll. Jika terjadi sesuatu yang membahayakan maka amygdala berfungsi sebagai alarm yang memberi tahu hypothalamus untuk memproduksi hormon tertentu supaya tubuh berespon terhadap bahaya tersebut, entah berlari (flight) atau bertahan (fight). Otak emosional mengambil alih kendali dan berusaha melindungi dirinya melalui sikap tubuh, ekspresi dan perilaku. Otak emosional hanya bisa dikendalikan oleh otak rasional (Pre Frontal Cortex-PFC).  Untuk bekerja dengan baik PFC perlu dua hal, yakni : mindfulness (untuk berpikir secara objektif) dan bahasa (untuk refleksi). Sayangnya PCF baru matang pada usia 25 tahun, sehingga otak emosional anak lebih dominan. Jika anak emosional, orang tua yang lebih matang otak rasional seharusnya lebih mampu mengendalikan diri, jangan sampai ikut emosional. Orang tua mendisiplin anak sekaligus mendisiplin dirinya, mendisiplin diri supaya tetap tenang dan tidak meledak-ledak secara emosi, tegas tapi tidak galak dan terus-menerus melakukan ini.  Otak rasional anak dapat diaktifkan dengan bantuan orang tua, caranya:

1. Orang tua harus berusaha menjadi pendengar yang tulus agar anak semakin mudah mengungkapkan apa yang dirasakannya

2. Jangan abaikan ekspresi verbal non verbal anak (terkadang orang tua meremehkan ekspresi anak dang menganggapnya lebay )

3. Jangan menyangkal apa yang dirasakan anak tapi terima saja apa yang dirasakannya. Perasaan setiap orang selalu benar bagi yang merasakannya.

Dari contoh kasus anak yang kura-kuranya mati, kita dapat belajar untuk :

-Tidak menyangkal perasaannya, tapi beri nama perasaan tersebut.

Aslinya mungkin kita berpikir, apaan sih , Cuma binatang doang, masih bisa dicari atau dibeli lagi. Tapi saat mendengar anak sungguh-sungguh kita akan tahu kalau bagi anak itu, kura-kura adalah kawannya. Dan memang menyedihkan kehilangan seorang kawan. Benarkan perasaan sedih tersebut.

- Jangan menceramahi anak

Menceramahi anak pada saat sedang emosional sangat tidak berguna. Lebih baik berikan pertanyaan dengan jawaban ya/tidak untuk mengaktifkan otak rasionalnya. Jangan berikan pertanyaan ‘kenapa’, pada saat anak emosional sulit baginya untuk menjawab pertanyaan serumit ini.

- Bantu anak memahami sebab dari ekonomi negatifnya

Misalkan dia sedih katakan KENAPA sehingga anak memahami dirinya dan setiap emosi yang dirasakannya. Anak tahu bahwa emosinya wajar dan diterima.

-Setelah kronologis yang terjadi jelas, berikan pemahaman tentang sensasi yang dirasakan anak

Ini dilakukan agar ke  depannya anak semakin mengenali dirinya saat merasakan emosi tertentu dan bisa berespon benar.

-Tunjukkan empati kita

Anak perlu merasakan bahwa orang tuanya peduli apa yang dirasakannya dan turut merasakan yang dia rasakan. Ini kemudian akan mempermudahnya membahasakan secara verbal perasaannya.

-Jangan mengendorkan aturan

Walaupun kita memahami apa yang dirasakan anak, jangan biarkan anak berlaku semaunya, tetap tegas dan ajak anak berespon dengan benar pada aturan yang berlaku.

-Ajak anak membuat keputusan yang benar saat yang terjadi tidak sesuai keinginannya

Setelah anak tenang, anak bisa diajak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Kalau perlu, buat pilihan yang akan membantunya memutuskan apa yang akan dilakukan.

Orang tua yang lebih matang otak rasionalnya harus mampu memandu anak menggunakan otak rasionalnya di saat dia emosional. Dengan demikian anak bisa mengendalikan dirinya dan tidak diambil alih otak emosionalnya.

 

1. Narasikanlah pemahamanmu tentang apa itu validasi emosi (VE) dan mengapa VE penting dalam proses habit training.

- Validasi emosi adalah teknik yang digunakan saat seseorang begitu emosional (karena otak emosionalnya mengambil alih kendali tubuhnya) untuk membantunya lebih rasional dengan cara membantu mengaktifkan otak rasionalnya dengan beberapa langkah, yakni :menerima emosi tersebut dan tidak menyangkalnya, bantu memahami situasi dan emosinya , berempati dan ajak untuk memutuskan melakukan yang benar.

-Validasi emosi penting dalam proses habit training karena anak yang emosional saat didisiplin sesungguhnya karena otak rasionalnya belum matang. Otak emosionalnya berespon keras untuk melindungi dirinya terhadap hal yang dianggapnya mengancam. Otak emosional hanya bisa dikendalikan dengan otak rasional sehingga dalam teknik validasi emosi diharapkan orang tua dapat membantu mengaktifkan otak rasional anak. Jika otak rasional anak aktif, maka dia mengerti bahwa dia tidak perlu berespon secara emosional saat didisiplin. Otak rasionalnya akan belajar memahami orang tua mendisiplin dengan tujuan tertentu, buakn sekedar mengganggu kesenangannya melakukan apa yang dikehendakinya.

 

 

2. Ceritakanlah satu peristiwa ketika anakmu menolak perintahmu dengan menunjukkan emosi negatif.

Sara menolak makan makanan yang saya berikan dengan alasan tidak suka sayur, saat diminta tetap makan dia lalu beralasan kenyang. Padahal dia baru makan satu sendok saja. Saya bujuk makan lagi lalu dia berkata mengantuk dan mau tidur. Saya paksa makan, dia menolak dan mulai berteriak tidak mau. Saat saya berkata makanan ini baik buat dia karena sehat, dia mulai menutup telinga, berteriak dan menangis. Dibentak, tangisannya makin keras dan lama. Saya minta masuk kamar, malah menangis sampai tertidur di kamar.

 

3. Tuliskanlah dalam situasi/kasus itu, langkah-langkah gabungan habit of obedience dan validasi emosinya harusnya seperti apa agar emosi negatif anak mereda, tapi perintah/aturan tetap dijalankan.

Saat Sara mulai berteriak, harusnya saya mulai menamai perasaannya.

Mama : Kakak marah karena marah mama paksa makan sayur ya?”

Sara : Iya

Lalu mulai ajukan pertanyaan supaya otak rasionalnya bekerja.

Mama : Kakak gak suka makan sayur ya?”

Sara : Iya

Mama : Sayur gak enak ya?

Sara : Iya

Berempati.

(Mulai peluk)

Mama : Tau gak kak, Mama dulu juga gak suka sayur lo, padahal mama belum coba. Ada lo sayur yang enak. Kakak suka wortel kan?

Sara : Iya

Mama : Worter itu sayur juga lo. Wortel enak kan?

Sara : Iya.

Mama : Sayur itu bagus lo, buat kita sehat. Kalau sakit gak enak lo, kakak gak bisa main sama dedek. Kakak mau sakit?

Sara : Nggak mau.

Mama : Kalau gitu, dimakan ya sayurnya?

Sara : Oke.

(Setelah makan)

Sara : Gak mau lagi Mah, gak enak.

Mama : Gak boleh gitu, kan kita makan sayur supaya sehat. Makan lagi yok. Tuh papa makan sayur, mama juga.

Sara : Gak mau.

Mama : Kakak gak suka karena bayamnya susah digigit?

Sara : Iya. Lama.

Mama : Ya udah, lain kali mama potong lebih kecil ya, supaya kakak mudah gigitnya, mau?

Sara : Iya.

Mama : Sekarang makan dulu ya, mama potongin kecil-kecil ya supaya kakak gak lama makannya?

Sara : Iya.

 

 PERTANYAAN

1. Seandainya perlu waktu lama sekali untuk menenangkan anak saat validasi emosi, apakah setelahnya anak akan langsung menuruti kita? Bagaimana kalau tidak?

2. Saat dua anak perlu divalidasi emosinya karena mereka bersamaan emosional, manakah yang lebih dahulu diprioritaskan? Si sulung atau bungsu?

3. Saat anak bertengkar, saling berteriak dan memukul, apakah teknik validasi emosi ini bisa digunakan? Bagaimana praktiknya?


Palangka Raya, 5 Maret 2021

-Mega Menulis-

No comments: