Kehendak anak masih lemah karenanya orang tua perlu benar-benar mengawal proses pelatihan kebiasaan baik dan memastikan anak melakukannya. Proses habit training tidak semudah yang dibayangkan, dalam praktiknya orang tua selaku habit trainer akan berhadapan dengan penolakan anak yang disertai emosi, pedebatan, teriakan, tangisan dan berbagai ekspresi emosi lainnya. Salah satu teknik yang perlu diketahui orang tua adalah validasi emosi. Teknik ini tepat digunakan karena sesuai dengan bagaimana otak bekerja. Secara umum otak terdiri atas : Batang otak (otak reptil), limbic (otak mamalia) dan neo cortex (otak manusiawi). Otak reptile dan otak mamalia bekerja sama menjadi otak emosional yang berfungsi memastikan bertahan hidup dan cukup kasih sayang. Pada limbic terdapat bagian bernama amygdala yang berfungsi sebagai penafsir stimulasi suara ,sentuhan, bau, dll. Jika terjadi sesuatu yang membahayakan maka amygdala berfungsi sebagai alarm yang memberi tahu hypothalamus untuk memproduksi hormon tertentu supaya tubuh berespon terhadap bahaya tersebut, entah berlari (flight) atau bertahan (fight). Otak emosional mengambil alih kendali dan berusaha melindungi dirinya melalui sikap tubuh, ekspresi dan perilaku. Otak emosional hanya bisa dikendalikan oleh otak rasional (Pre Frontal Cortex-PFC). Untuk bekerja dengan baik PFC perlu dua hal, yakni : mindfulness (untuk berpikir secara objektif) dan bahasa (untuk refleksi). Sayangnya PCF baru matang pada usia 25 tahun, sehingga otak emosional anak lebih dominan. Jika anak emosional, orang tua yang lebih matang otak rasional seharusnya lebih mampu mengendalikan diri, jangan sampai ikut emosional. Orang tua mendisiplin anak sekaligus mendisiplin dirinya, mendisiplin diri supaya tetap tenang dan tidak meledak-ledak secara emosi, tegas tapi tidak galak dan terus-menerus melakukan ini. Otak rasional anak dapat diaktifkan dengan bantuan orang tua, caranya:
1.
Orang tua harus berusaha menjadi pendengar yang tulus agar anak semakin mudah
mengungkapkan apa yang dirasakannya
2.
Jangan abaikan ekspresi verbal non verbal anak (terkadang orang tua meremehkan
ekspresi anak dang menganggapnya lebay )
3.
Jangan menyangkal apa yang dirasakan anak tapi terima saja apa yang
dirasakannya. Perasaan setiap orang selalu benar bagi yang merasakannya.
Dari
contoh kasus anak yang kura-kuranya mati, kita dapat belajar untuk :
-Tidak
menyangkal perasaannya, tapi beri nama perasaan tersebut.
Aslinya
mungkin kita berpikir, apaan sih , Cuma binatang doang, masih bisa dicari atau
dibeli lagi. Tapi saat mendengar anak sungguh-sungguh kita akan tahu kalau bagi
anak itu, kura-kura adalah kawannya. Dan memang menyedihkan kehilangan seorang
kawan. Benarkan perasaan sedih tersebut.
-
Jangan menceramahi anak
Menceramahi
anak pada saat sedang emosional sangat tidak berguna. Lebih baik berikan
pertanyaan dengan jawaban ya/tidak untuk mengaktifkan otak rasionalnya. Jangan
berikan pertanyaan ‘kenapa’, pada saat anak emosional sulit baginya untuk
menjawab pertanyaan serumit ini.
-
Bantu anak memahami sebab dari ekonomi negatifnya
Misalkan
dia sedih katakan KENAPA sehingga anak memahami dirinya dan setiap emosi yang
dirasakannya. Anak tahu bahwa emosinya wajar dan diterima.
-Setelah
kronologis yang terjadi jelas, berikan pemahaman tentang sensasi yang dirasakan
anak
Ini
dilakukan agar ke depannya anak semakin
mengenali dirinya saat merasakan emosi tertentu dan bisa berespon benar.
-Tunjukkan
empati kita
Anak
perlu merasakan bahwa orang tuanya peduli apa yang dirasakannya dan turut
merasakan yang dia rasakan. Ini kemudian akan mempermudahnya membahasakan
secara verbal perasaannya.
-Jangan
mengendorkan aturan
Walaupun
kita memahami apa yang dirasakan anak, jangan biarkan anak berlaku semaunya,
tetap tegas dan ajak anak berespon dengan benar pada aturan yang berlaku.
-Ajak
anak membuat keputusan yang benar saat yang terjadi tidak sesuai keinginannya
Setelah
anak tenang, anak bisa diajak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.
Kalau perlu, buat pilihan yang akan membantunya memutuskan apa yang akan
dilakukan.
Orang
tua yang lebih matang otak rasionalnya harus mampu memandu anak menggunakan
otak rasionalnya di saat dia emosional. Dengan demikian anak bisa mengendalikan
dirinya dan tidak diambil alih otak emosionalnya.
1.
Narasikanlah pemahamanmu tentang apa itu validasi emosi (VE) dan mengapa VE
penting dalam proses habit training.
- Validasi emosi adalah teknik
yang digunakan saat seseorang begitu emosional (karena otak emosionalnya
mengambil alih kendali tubuhnya) untuk membantunya lebih rasional dengan cara
membantu mengaktifkan otak rasionalnya dengan beberapa langkah, yakni :menerima
emosi tersebut dan tidak menyangkalnya, bantu memahami situasi dan emosinya ,
berempati dan ajak untuk memutuskan melakukan yang benar.
-Validasi emosi penting dalam
proses habit training karena anak yang emosional saat didisiplin sesungguhnya
karena otak rasionalnya belum matang. Otak emosionalnya berespon keras untuk
melindungi dirinya terhadap hal yang dianggapnya mengancam. Otak emosional
hanya bisa dikendalikan dengan otak rasional sehingga dalam teknik validasi
emosi diharapkan orang tua dapat membantu mengaktifkan otak rasional anak. Jika
otak rasional anak aktif, maka dia mengerti bahwa dia tidak perlu berespon
secara emosional saat didisiplin. Otak rasionalnya akan belajar memahami orang
tua mendisiplin dengan tujuan tertentu, buakn sekedar mengganggu kesenangannya
melakukan apa yang dikehendakinya.
2.
Ceritakanlah satu peristiwa ketika anakmu menolak perintahmu dengan menunjukkan
emosi negatif.
Sara menolak makan makanan yang
saya berikan dengan alasan tidak suka sayur, saat diminta tetap makan dia lalu
beralasan kenyang. Padahal dia baru makan satu sendok saja. Saya bujuk makan
lagi lalu dia berkata mengantuk dan mau tidur. Saya paksa makan, dia menolak
dan mulai berteriak tidak mau. Saat saya berkata makanan ini baik buat dia
karena sehat, dia mulai menutup telinga, berteriak dan menangis. Dibentak,
tangisannya makin keras dan lama. Saya minta masuk kamar, malah menangis sampai
tertidur di kamar.
3.
Tuliskanlah dalam situasi/kasus itu, langkah-langkah gabungan habit of
obedience dan validasi emosinya harusnya seperti apa agar emosi negatif anak
mereda, tapi perintah/aturan tetap dijalankan.
Saat Sara mulai berteriak,
harusnya saya mulai menamai perasaannya.
Mama : Kakak marah karena marah mama paksa makan
sayur ya?”
Sara : Iya
Lalu mulai ajukan pertanyaan supaya otak rasionalnya bekerja.
Mama : Kakak gak suka makan
sayur ya?”
Sara : Iya
Mama : Sayur gak enak ya?
Sara : Iya
Berempati.
(Mulai peluk)
Mama : Tau gak kak, Mama dulu
juga gak suka sayur lo, padahal mama belum coba. Ada lo sayur yang enak. Kakak
suka wortel kan?
Sara : Iya
Mama : Worter itu sayur juga lo.
Wortel enak kan?
Sara : Iya.
Mama : Sayur itu bagus lo, buat
kita sehat. Kalau sakit gak enak lo, kakak gak bisa main sama dedek. Kakak mau
sakit?
Sara : Nggak mau.
Mama : Kalau gitu, dimakan ya
sayurnya?
Sara : Oke.
(Setelah makan)
Sara : Gak mau lagi Mah, gak
enak.
Mama : Gak boleh gitu, kan kita
makan sayur supaya sehat. Makan lagi yok. Tuh papa makan sayur, mama juga.
Sara : Gak mau.
Mama : Kakak gak suka karena
bayamnya susah digigit?
Sara : Iya. Lama.
Mama : Ya udah, lain kali mama
potong lebih kecil ya, supaya kakak mudah gigitnya, mau?
Sara : Iya.
Mama : Sekarang makan dulu ya,
mama potongin kecil-kecil ya supaya kakak gak lama makannya?
Sara : Iya.
1. Seandainya perlu
waktu lama sekali untuk menenangkan anak saat validasi emosi, apakah setelahnya
anak akan langsung menuruti kita? Bagaimana kalau tidak?
2. Saat dua anak perlu
divalidasi emosinya karena mereka bersamaan emosional, manakah yang lebih
dahulu diprioritaskan? Si sulung atau bungsu?
3. Saat anak bertengkar,
saling berteriak dan memukul, apakah teknik validasi emosi ini bisa digunakan?
Bagaimana praktiknya?
Palangka Raya, 5 Maret 2021
-Mega Menulis-
No comments:
Post a Comment