Tuesday, August 21, 2018

Sehati Sepikir dengan Suami, Mungkinkah?

Roma 12:16 (TB)  Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!

Sewaktu membaca kalimat ‘sehati sepikir dalam hidupmu bersama’. Aku langsung memikirkan suamiku. Tsahhh…. Aneh deh, dulu-dulu baca ayat ini gak mikirin suami (ya iya lah, belum punya suami.LOL). Maksudku, sebenarnya latar belakang ayat ini ditulis bukan membicarakan hubungan suami istri saja, tapi bagiku kini ayat ini bener-benar merhema saat diaplikasikan dalam hubungan dengan suami.

Selama tiga tahun menikah ini aku gak selalu sehati sepikir dengan suami. Aku ingin suami mengerti isi hati dan pemikiranku, aku ingin yang terbaik buat keluarga kami. Aku menganggap pemikiranku saat berbeda dengan suami lebih baik. Padahal, dalam hidup kami bersama, ayat di atas benar-benar harus aku lakukan. Sempat mikir, harusnya suami juga baca ayat ini dong supaya dia juga berusaha sehati sepikir denganku dan gak merasa benar sewaktu kami berdebat. Tapiiii.... Aku teringat kalau suamikulah kepala keluarga kami. Aku yang harusnya lebih dahulu berusaha sehati sepikir dengannya. Aku yang harusnya tunduk sama suamiku. Firman Tuhan berkata demikian:

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Efesus 4:22-23

Masalahnya, bagaimana tunduk dengan suami saat aku gak setuju dengan suami? Kalau jelas-jelas pendapat suami bertentangan dengan Firman Tuhan, udah jelaslah ya harus gimana. Tapi bagaimana dengan perkara yang Tuhan gak kasih batasan tertentu? Apakah harus tetap tunduk?  Roma 12:16 meminta kita sehati sepikir dalam hidup bersama, mengarahkan diri kepada perkara-perkara yang sederhana dan gak menganggap diri sendiri pandai. Ketiga hal ini setidaknya menolongku untuk tunduk pada suami.

Sehati sepikir

Sudah pasti kami gak mungkin sehati sepikir awalnya dalam segala hal. Tapi tentunya aku harus berusaha MENGERTI ISI HATI DAN PIKIRAN SUAMI. Belajar mendengarkan lebih dulu, banyak mendengar daripada berbicara, berempati supaya mengerti maksud suami,gak ngotot dituruti. Dan saat sesuatu diputuskan, aku perlu tunduk sama keputusan suami. Aku harus sudah sehati sepikir dengannya sewaktu perkara sudah diputuskan. Aku harus satu suara. Aku harus melakukan keputusan tersebut dengan sukarela dan senang hati, bukan dengan hati yang bersungut-sungut. Aku harus berdoa supaya keputusan ini mendatangkan berkat bagi kami. Bukannya berharap kalau keputusan suami salah dan pendapatku yang benar. Kalau pun keputusan suami salah, aku gak boleh bersukacita atasnya dan berkata, "Tuh kan, benar kan yang kubilang?". Tetap bersikap manis ke suami dan respect apapun yang terjadi, bahkan saat gak sependapat.

Hal yang paling susah adalah saat kita gak share the same concern. Tapi di situlah tantangannya, apakah kita bisa berkomunikasi dengan baik dengan suami. Aku dan suami beda dalam beberapa hal, salah satunya, aku pernah baca kalau di atas 2 tahun anak-anak ga perlu banyak minum susu, karena bisa dapat kalsium dari sumber makanan yang lain. Udah aku informasikan ke suami, tapi dia pengen Sara tetap minum susu tiap hari. Dia pikir aku ngomong gitu karena pengen berhemat. Iya juga sih , bisa berhemat kalau gitu, di bagian ini He know me so well lah, hahaha. Suami pernah cerita kalau dia terbiasa sewaktu kecil dapat asupan susu selama sekolah. Dalam hati aku berucap,”Iya lah, itu kan zaman dulu”. Ya sudah lah, gak esensi juga, ngapain kita ngotot. Banyak hal sih yg kami beda pendapat. Bener, pas dikomunikasikan jadi lebih ngerti. Walaupun masih ga sependapat, kalau ga esensi, aku belajar ga ngotot. Lelah. Bikin suasana gak enak juga. Kalau suami belum bisa terima, jangan dipaksa, pelan-pelan saja bu ibu….^^ Kadang gatel ngomong gini : Stop aja Sara dikasih susu ntar umur 2 tahun, dah gak perlu susu lagi, gak guna! Jangan dibawa-bawa kebiasaanmu kecil. Udah beda nih zamannya. Tapiiii….Lebih baik jadi ajang diskusi aja dengan suami saat beda pendapat.

Contoh lain, suami termasuk strict banget urusan bersih-bersih. Misal Sara main, terus belum diberesin dah minta baca buku. Aku sih langsung kasih aja, ntar aja beres-beresnya, daripada ntar dia menghambur lagi mainannya. Suami gak dong, maunya langsung dibersihkan. Astagaaa.... Capek kan. Wong anak bolak-balik kalo dah main. Dulu kalau kesel, aku biarin aja suami yang beresin. Sekarang baru nyadar kalau suami maksudnya baik. Kalau berhamburan, Sara bisa jatuh (pernah kejadian). Terus Sara gampang gak fokus kalau semua mainan dan buku dilihatnya bersamaan. Seringkali yang penting taat dulu, belakangan baru ngerti. Kalau didebatin ma gak bakal ngerti. Susah benget lo untuk segera taat, makanya harus dilatih. Marriage life is sanctifying, kehidupan pernikahan itu sungguh akan terus menguduskan kita, yang terutama dari KEEGOISAN.  Aku harus mengakui kalau aku gak mau membereskan mainan Sara segera karena aku malas. Aku egois. Aku harus berubah.

Arahkan diriku kepada perkara yang sederhana. 

Saat konflik terjadi dengan suami karena aku gak sepikiran dengan dia, atau karena apapun, aku perlu fokus untuk memikirkan perkara yang sederhana : kalau aku mengasihi suami, aku harus tunduk dengannya. Adu otot leher ga akan memghasilkan apa-apa, berdebat dan bertengkar cuma menghasilkan perpecahan. Fokus pada hal sederhana, yakni mengasihi suami (mengasihi suami=tunduk padanya). 

Kapan hari juga, pas lagi live IG Pearl untuk pertama kali aku dah ngomong sama suami, eh… tahu-tahu disuruh ngapain (ngelipat pakaian kalau gak salah), kesel kan. Nanti-nanti kan bisa ya? Kenapa mesti sekarang? Mulut ini dah sempet mau ngomel, tapi aku menahan diri. Udahlah, ngapain ngomel. Toh aku gak kehilangan apa-apa kalau nurut suami. Yo wes, manut dah. Simple? Gak gampang ini. Beneran deh. Tapi ini yang namanya pursue peace in relationship, apalagi untuk hal yang gak krusial yah mending ditinggalin aja. Aku masih terus latihan untuk bisa taat sama suami segera saat itu juga. Berat bo. Kalau sudah terasa berat gitu aku membayangkan, aku mau anak-anakku taat dengan segera, nah kalau aku aja ngasih teladan gitu, gimana ntar?

Lalu, saat aku melakukan perintah suami segera, ternyata aku juga sedang berlatih melakukan perintah Tuhan dengan segera lo. Bagaimana aku mau taat sama Tuhan yang gak terlihat kalau sama suami yang terlihat saja aku gak bisa taat? Aslinya, aku sangat egois, aku sering hitung-hitungan lo dengan suami. Makanya untuk benar-benar taat aku perlu lebih banyak latihan, terkadang aku gagal, terkadang berhasil.

Jangan menganggap diriku pandai. 

Ini jleb jleb jleb banget buatku. Jangan "menggurui" kalau ngomong sama suami,  it can hurt his "man-pride". Ini sulit sekali. Apalagi kalau aku merasa lebih tahu. Tapiiii...aku perlu terus tanamkan dalam hati kalau suamiku adalah kepala atas keluarga kami. Aku leher yang mendukung kepala tetap tegak. Aku gak perlu memikirkan bagaimana caranya supaya pendapat dan pemikiranku diterima, tapi bagaimana supaya pemikiran dan pendapatku memperkaya suami dan dia bisa mengambil keputusan terbaik sesuai yang Tuhan mau.

Ci Lia pernah sharing kutipan dari mentornya (John itu nama suami mentornya) :

Church structure is similar to family structure, men are in leadership as protectors and providers; women operate under their authority. Different positions but equal in value and importance. In the home, I speak my mind freely but respectfully (I hope!) to my husband.  I reserve the right to be a person and to think for myself. If we disagree and cannot come to an agreement, I defer to his decision because there must be order. If I am to teach women or children, I like to know that John knows what I am talking about and supports it because I want the protection of being under his authority.

Sebagai istri, aku harus belajar untuk tunduk pada suami meskipun aku gak setuju karena suami adalah kepala, pembuat keputusan. Diskusi tentu saja boleh, berdebat juga boleh, tapi saat keputusan harus diambil dan kami gak bisa sependapat, maka itu saatnya aku harus belajar membiarkan suami yang mengambil keputusan untuk memimpin. Dengan demikian suamiku bisa bertumbuh dan berfungsi sebagaimana yang Tuhan inginkan. Aku harus jadi ‘penolong’ baginya memutuskan yang terbaik sesuai yang Tuhan mau dan dalam menjalani keputusannya.

Kalau gak rela hati mau dipimpin, pasti tekanan batin banget. Apalagi pas ketemu hal yang menurut kita ga esensi tapi suami ngotot. Kalau dah gitu sih, kembali ke poin dia adalah pemimpin dalam keluargaku, kalau aku meragukan kepemimpinannya, kalau aku gak tunduk, gimana ntar anak-anak bisa tunduk. Kami lagi ngajarin Sara buat taat, baru hal simple sih seperti kalau dipanggil langsung jawab dan datang gitu sih. Itu aja susah banget. Bingung aku. Terus kepikiran, aku 'maksa'  sara buat taat, akunya gimana, dah kasih contoh belum. Dari situ juga sih aku bener-bener belajar kasih teladan.

 

Beberapa waktu yang lalu, aku menerima sebuah challenge dari Ci Lia dan kali ini izinkan aku menantang pembaca Pearl yang sudah menikah, challengenya seperti ini:

Selama sebulan harus berdoa setiap hari buat suami dan bilang terima kasih ke suami SETIAP HARI. Pokoknya KUDU WAJIB HARUS temukan 1 hal yang disyukuri tentang dia, boleh berupa hal yang dia lakukan, atau karakternya yang kamu sukai, pokoknya tentang apa aja. KALAU SAMPAI GAK ADA, maka HARUS melakukan sesuatu yang menunjukkan respect dan kasih ke suami, sediakan waktu untuk menunjukkannya ke suami setiap hari. Sekreatif mungkin, boleh bilang langsung, lewat WA/SMS, masakin makanan kesukaannya , belikan kesukaannya, kasih notes, dll.

Bagiku pribadi, challenge ini benar-benar 'menantang'. Hahahaha. Kadang berasa gak ada yang bisa disyukuri. Apalagi kalau lagi kesel. Boro-boro mau blessing dan menyenangkan suami, wong aku lagi kesel. Ya gak sih?

Pernah suatu kali kejadian gini : Di suatu siang yang panas banget, aku beli dua cup minuman dingin, aku sebelumnya sudah tawarin suami, dia bilang gak mau, ya sudah aku cuma beli 2, buatku dan Sara. Eh, tahu-tahu pas aku dan Sara minum, suami pengen. Kesel dong aku. Tapi kupikir, aku kan mau blessing suami setiap hari, yo wes, beli aja lagi. Eh tapi aku emak-emak hemat, hahaha. Jadi akhirnya, aku minum punyaku sedikit dan kasih suami. Suami sampai gak percaya, soale dia tahu aku sempat kesel, hahahaha. Dan biasanyaaa…jangan harap aku melakukan itu, hahaha. Tapi aku senang lo melakukan itu. Apalagi melihat ekspresi gak percaya suami.Worth it. ^^V

Aku harus mengakui, dalam menjalani challenge tersebut ada kalanya sangat sulit untuk menemukan hal yang bisa disyukuri. Tapi paling ngga, ya itu tadi. Kalau gak bisa melakukan sesuatu yg menyenangkan suami, aku jadi gak mau bikin kesel dia. Saat aku berkomitmen mengikuti challenge ini, aku merasakan responku ke suami berubah, jadi lebih sabar, lebih kontrol omongan, pengen blessing suami dan menyenangkan dia. Dan lagi, ternyata sewaktu aku komitmen doain suami setiap hari, hal pertama yang Tuhan ubah adalah diriku sendiri, bukan suami. Aku jadi bercermin dan banyak dibentuk Tuhan bagaimana menjadi istri yang baik buat suamiku. Aku berlatih punya sweet attitude menghadapi suami dalam segala keadaan, khususnya saat kami gak sependapat dalam hal-hal tertentu atau saat suami melakukan hal yang biukin kesal.

 

Suatu kali, suami membeli barang yang menurutku harganya lumayan (padahal kami sedang menabung buat dp rumah). Baru dikasih tahu setelah dibeli. Reaksi spontanku biasanya ngomel atau ngambek. Aku diam seketika. Tapi lalu aku mikir, kalau aku marah, apakah akan mengubah keadaan? Toh sudah dibeli. Kalau aku ngomel cuma akan buat suasana jadi gak enak. Kalau aku nyuekin suami dan ngambek berhari-hari, emang apa untungnya? Aku memutuskan saat konflik dengan suami, aku mau berespon dengan benar. Kalau aku berespon gak benar (menghukum suami dengan bersikap dingin, ngambek, nyuekin suami, bersikap kasar, menolak sex, dan berbagai cara kreatif lain :p )  itu akan mendorong suami menjauh dariku. Dan aku menyadari, mendorong suami menjauh sama dengan mendorong Tuhan menjauh. Jangan harap punya hubungan yang intim dengan Tuhan kalau hubungan dengan suami kayak gitu. Berkali-kali aku mengalami, saat aku sedang konflik dengan suami maka Tuhan pasti ingatkan aku untuk mengampuni, mulai komunikasi lebih dahulu, bersikap manis, mendengarkan suami, gak cerewet, gak mengungkit-ungkit kesalahan suami, meminta maaf, mengubah diriku, dll. Nah, kalau aku mengeraskan hati dan gak taat sama Tuhan, aku juga mendorong Tuhan menjauh. Ngeri ah! Akhirnya aku memilih menerima dengan tenang yang terjadi, tapi tentunya kemudian mengingatkan suami kalau kami sedang menabung untuk DP rumah.   Suami terima aja kok, malahan dia sempat menyesal membeli barang tersebut, hahahaha. Padahal aku sudah terima lo.

 

Masih banyak pengalaman lain yang aku alami saat menghadapi suami selama challenge itu. Tapiii…. aku mengundang kalian mengalami sendiri hal tersebut. Kalian akan menemukan kalau suami yang kalian nikahi adalah pria yang luar biasa. Kalian juga akan terkejut melihat betapa banyak sebenarnya yang suami sudah lakukan dan kalian gak menyadarinya. Kalian gak akan menyangka kalau kalian bisa bersikap begitu manis kepada suami. Betapa banyak yang Tuhan sanggup kerjakan di dalam kalian dan melalui kalian para istri, saat memutuskan untuk blessing dan mendoakan suami setiap hari. Ada proses yang gak mudah dijalani, tapi hasilnya sepadan.

Bagaimana para istri, berani terima tantangan ini?

 
Palangka Raya, 21 Agustus 2018
-Mega Menulis-

No comments: