Beberapa hari yang lalu aku share pengalaman kami melatih anak supaya makan gak pilih-pilih. Mungkin ada yang bingung, kenapa kebiasaan makan ini yang pertama kami latihkan. Aku lupa cerita ya. Akakakak. Alasannya karena ini PENTING. Ya elah Meg, alasan gini doang? Iya, serius! Ini beneran penting. Sejak ikut kelas Habit Training, setiap melatih kebiasaan baru ke anak, aku dan suami mikir, seberapa penting ini untuk dilakukan. Konsekuensinya apa kalau tidak dilakukan. Apakah ini esensi banget. Aku harus mengakui seringkali yang lebih butuh habit training itu orang tuanya, bukan anak.
Dalam salah satu sesi mentoring, mentor habit training kami bertanya ke seorang ibu yang habit training plannya supaya anak makan sendiri. Seberapa lama anaknya makan kalau sendiri, ternyata bisa sampai sejam katanya. Kalau disuapi paling 5-10 menit sudah selesai. Mentor pun berkata, lalu kenapa harus dipaksakan makan sendiri kalau demikian, anak jika sudah dewasa pasti makan sendiri, tidak selamanya dia akan disuapi, memangnya ada masalah apa dengan menyuapi anak. Kalau makan sendiri dia bisa sampai satu jam, apa sekarang si ibu tidak sedang membangun kebiasaan makan anak menjadi lama. Usut punya usut, ibu ini ingin anak makan sendiri agar dia bisa mengerjakan hal lain yakni memasak dan mengurus rumah. Dalam sehari dia memasak 2-3 kali. Jadi setiap kali makan, menunya berbeda. Wow! Di situ aku terpana, apa kabar aku yang sekali masak buat seharian atau malah buat besoknya lagi, pemalas sekali aku 😅 Lalu rupanya ibu itu kerepotan karena punya bayi juga, suami tidak terlalu dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga karena pernah sakit. Praktis suami hanya ngantor dan pulang ke rumah gak membantu pekerjaan rumah tangga, malahan kadang ikut rapat kepanitiaan di luar rumah beberapa kali dalam seminggu. Aku mulai ikut melihat gambaran besarnya. Kalau begini, yang perlu habit training orang tuanya. Ayah perlu dibiasakan ikut berkontribusi di rumah, entah menjaga anak, beres-beres atau apa lah. Sedangkan ibu perlu berlatih memanajemen dapur atau urusan rumah tangganya. Memasak sehari tiga kali itu too much sih menurutku. Tiap makan menu harus beda? Alamak! Ngebayangin aja aku capek, apalagi dia yang melakukannya.
Berkaca pada kisah tersebut, aku lalu ngobrol dan sharing sama suami kalau dalam membuat habit training plan anak kami harus berpikir :
1. Apa tujuan besar dari habit training ini dilatihkan?
2. Mengapa ini penting harus dilatih ke anak?
3. Kalau tidak dilatihkan apa akibatnya?
4. Sebagai habit trainer, apa yang bisa kami lakukan agar proses habit training ini lancar? Adakah habit baru yang harus kami lakukan juga?
Sewaktu awal banget membuat habit training untuk toilet training anak, kami tidak sepenuhnya menggunakan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai pertimbangan. Kami memilih habit training tersebut karena saat itu kami melihat itu hal yang urgent. Kenapa?
1. Saat anak menunda ke WC karena asyik bermain, tahu-tahu dia bisa kebelet dan bak di lantai. Kalau sudah begitu dia akan menangis lama sekali. Buntutnya, sepanjang hari moodnya gak bagus dan rewel (aslinya anaknya gak suka sesuatu yang kotor dan jorok).
2. Kami kuatir kebiasaan menunda ke WC ini jadi kebiasaan hingga dewasa. Ini bisa menyebabkan penyakit infeksi saluran kencing. Untuk anak perempuan ini berbahaya sekali.
3. Papanya anak-anak gak suka kekotoran dan jorok. Kalau sampai anak bak di lantai, bukan cuma berurusan dengan lantai kotor, dia juga harus berurusan dengan anak yang rewel sepanjang hari.
Syukurlah, habit training anak berjalan lancar. Malah ada bonus, si dedek ikut dan lepas popok. Yay!
Dalam proses toilet training anak, kami juga berdisiplin. Suami belajar mendisiplin emosinya supaya gak terlalu terpengaruh dengan kerewelan anak. Aku juga berlatih supaya lebih responsif pada kebutuhan anak dan mengenali anak. Ternyata aku sering gak memperhatikan ekspresi dan kebutuhan anak.
Lalu, kenapa kami melatih anak supaya gak pilih-pilih makanan?
Alasannya, untuk kesehatan setiap orang perlu makan dengan gizi seimbang.
Ini baru saja aku pelajari dan sadari. Tidak ada satu jenis makanan pun yang bisa memenuhi semua kebutuhan gizi seseorang, jadi kita harus macam berbagai jenis makanan. Seandainya ada satu jenis makanan yang lengkap memenuhi kebutuhan kita akan karbohidrat, protein, vitamin, mineral ya monggo makan itu aja. Tapi kan gak ada? Lah kalau anak cuma makan makanan yang disukainya saja, apa kabar ntar dengan kesehatannya hingga dewasa. Anak nangis disuruh makan yang dia gak suka? Better dia nangis sekarang dan belajar makan sehat deh daripada ntar dia nangis dan nyesal pas dewasa karena sakit gara-gara gak dibiasakan makan makanan sehat sama orang tuanya.
Aku kuatir kalau ini gak dilatihkan ke anak, mereka hanya akan terus memakan yang disukainya saja dan ini dapat berpengaruh pada kesehatannya. Contoh jelasnya aku sih, aku terbiasa makan makanan yang aku suka saja dan gak ngerti makan dengan panduan gizi seimbang. Well, dibilang gak ngerti gak juga sih, tapi aku gak terbiasa makan dengan gizi seimbang, akibatnya aku sekarang obesitas. Gak mau ah anakku kayak aku.
Alasan utamanya sih kesehatan ya. Alasan tambahan lain:
1. Membiasakan diri masak dan makan makanan yang menyehatkan penting demi generasi masa depan (ecieeee).
Aku perlu membiasakan diri makan makanan sehat, aslinya aku bisa makan Indomie tiap hari. Aku ngeri sih kalau bocah-bocah mengikuti jejakku. Makanya saat aku melatih anak makan makanan sehat, otomatis aku juga memaksa diriku, akakakak. Mosok, anaknya disuruh makan semua makanan sehat, emaknya ngemil Indomie sorangan. Emaknya suka gak suka harus ngasih contoh dong masak yang sehat supaya seisi rumah makan yang sehat. Kebiasaan memasak dan makan di sebuah rumah pasti akan mempengaruhi anak-anak hingga dewasa. Bagaimana nasib anak dari anakku, atau suami dari anakku kalau mereka mewarisi pola makan yang buruk dari keluarga.
2. Supaya anak-anak tahu, dia gak bisa melakukan hanya yang disukainya.
Bocah-bocah harus belajar,mereka gak bisa melakukan apa saja sesuka mereka. Termasuk makan makanan yang disukainya saja. Iya kalau dia selalu bisa bertemu makanan kesukaannya, lah kalau ngga gimana. Misal:bertamu ke rumah keluarga lain, pergi ke daerah baru, dll. Ada kalanya mereka harus melakukan yang gak disukainya. Kalau itu untuk tujuan yang baik, kenapa nggak.
3. Supaya gak kolokan dan rewel setiap ketemu makanan yang gak disukainya.
Aku dah kerja terus masak pula. Kalau bocah hanya mau makan yang disukainya lalu rewel saat ketemu yang gak disukainya, apa gak emosi jiwa tuh. Hahahaha. Jadi mending dia rewel sesaat (baca:beberapa minggu, atau beberapa bulan) tapi kemudian mengerti kalau dia gak bisa mengontrol orang tuanya. Daripada sampai dewasa kami orang tuanya harus menuruti maunya.
Apakah sekarang anak-anak kami mau makan makanan yang tidak disukainya? Lumayan sih sekarang progressnya. Paling ngga mereka mau mencoba makanan yang baru, mau makan apa yang gak disukainya walaupun gak banyak. Kuning telur yang dulu mereka gak mau pun sekarang mau. Sayur mau coba juga. Gak perlu terlalu tarik urat leherlah urusan makan. Thank God.
Palangka Raya, 28 April 2021
-Mega Menulis-
No comments:
Post a Comment