Wednesday, April 14, 2021

Sacred Influence (Chapter 12)


Bagaimana pun keadaannya, berat untuk mengakui bahwa ternyata orang dapat memilih bagaimana mereka berespon.

Dibandingkan mengakui kelemahan kita yang pemarah nampaknya akan lebih mudah berkata:
Siapapun kalau dihadapkan pada situasi ini pasti sama, akan meledak. 
Siapa yang gak marah digituin? 
Dia sih seperti itu, aku gak tahan. 
Aku memang seperti ini orangnya. 
Kesabaran ada batasnya, yang dilakukannya sudah melampaui batas. 
Tapi, berkata demikian tidak akan menolong mengatasi kebiasaan marah dan emosional. Seolah-olah minta dimaklumi tapi tanpa usaha untuk mengendalikan diri. Marah adalah emosi yang bisa dirasakan siapa saja, tapi ekspresi kemarahan tidak harus merusak, melukai dan menghancurkan orang lain. Saya dapat memilih respon saya. Respon yang sering saya pilih, itulah yang akan melekat pada saya. 


Latihan kerendahan hati yang baik adalah ketika anda kadang kala menyoroti diri anda sendiri. Apakah anda memiliki ketangguhan rohani untuk menyingkirkan rasa frustrasi dan kekecewaan anda, lalu menanyakan ke suami pertanyaan ajaib.
Suamiku pemarah, memang dia seperti itu. Apapun yang kulakukan dia pasti marah. Benarkah demikian? Gak logis sih ya sebenarnya kalau seseorang melihat dan menerima perlakuan atau sikap yang dia inginkan dan tetap marah. Okelah mungkin ekspresi kemarahan suami gak seperti yang saya inginkan. Kalau saya memilih diam dan menangis, rasanya tidak terima dengan nada tinggi suami atau sindirannya. Mengubah suami itu lain hal. Tapi bagaimana dengan mengubah diri sendiri lebih dahulu? Dibandingkan mengasihani diri sendiri, saya perlu merenung, apa sih yang bisa saya lakukan jika suami saya seperti ini. Dengan kesadaran dan hati yang bersedia dikoreksi, bertanya ke suami:
"Hal apa yang kamu ingin untuk aku lakukan dan yang sekarang belum aku lakukan?"
Butuh kerendahan hati luar biasa menanyakan pertanyaan ini, sepertinya saya datang sebagai pihak yang salah. Lah, padahal kan selama ini saya yang menderita punya suami pemarah? Tapi memupuk rasa kecewa dan mengasihani diri sendiri atau cuek tidak mengubah keadaan. Sebagaimana saya ingin suami berubah, saya juga harus sedia berubah. Bukan asal berubah sesuai keinginan saya, tapi bertanya ke suami apa yang dia ingin saya lakukan, lalu mulai lakukan dan lihat perubahan apa yang menanti. 


Jika perubahan akan mengubah keluarga, perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri.
Saya tidak dapat mengubah keluarga saya, saya tidak dapat mengubah suami saya atau orang lain. Satu-satunya yang bisa saya ubah adalah diri saya sendiri. Perubahan itu harus dimulai dari diri saya sendiri. 

Ketika anda melakukan apa yang diinginkan pasangan anda, sesungguhnya anda menyembuhkan diri sendiri. Tuhan memberi anda pasangan hidup sebagai orang yang dapat memperbaiki hal-hal tersebut di dalam diri anda yang sebenarnya tidak ingin anda perbaiki.
Sebagaimana pasangan saya tidak sempurna, saya pun demikian. Sebagaimana saya ingin berubah di satu area, demikian pula bisa jadi dia menginginkan hal yang sama. Bisa jadi pengendalian diri adalah hal yang ingin Tuhan kerjakan di dalam pasangan melalui ekspresi marahnya. Sementara Tuhan ingin mengerjakan sesuatu di dalam saya melalui apa yang saya lakukan dan membuat suami marah. Selama ini, bisa saja saya tidak merasakan itu sebagai masalah yang perlu saya perbaiki, tapi sebaliknya dengan suami, baginya itu masalah. Misal, saya punya kebiasaan mencuci peralatan dapur dan makan sekali saja dalam sehari. Mungkin bagi saya itu bukan masalah, tetapi bagi suami itu masalah. Jika saya mau berubah dan terus memperbaiki diri, suami juga seharusnya akan mengoreksi diri dan berubah.


Jika anda menginginkan sebuah petualangan besar, tunduklah kepada suami. Hal itu akan membukakan kepada anda suatu cara pandang yang  baru secara keseluruhan dalam memandang segala sesuatu - suatu cara pandang yang mungkin saat ini tidak anda miliki.
Tunduk merupakan kata yang mengerikan karena saya tidak tahu ini akan membawa saya ke mana. Tidak ada kepastian suami akan berubah, entah kapan juga. Keluarga ini akan menjadi bagaimana. Tapi ini adalah usaha untuk mengenal dan memahami pasangan lebih dalam. Apa yang dia inginkan ada latar belakangnya, mungkin juga dia punya visi yang berbeda. Saatnya saya belajar memahami dia, akan datang saatnya dia juga melakukan hal yang sama. Memandang seperti dia memandang, menyelami pikirannya supaya paham cara pikirnya, melakukann yang ingin dia lakukan. Benar-benar berusaha menjadi sehati sejiwa dengan pasangan. 

Palangka Raya, 12 April 2021
-Mega Menulis-

No comments: